A. Peranan lapas sebagai bagian dari sistem peradilan pidana dalam mendukung atau mewujudkan
integrated Criminal Justice System.
Muladi mengemukakan bahwa, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (Network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika hanya dilandasi untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Selanjutnya Muladi mengatakan sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur berupa subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren koordinatif, dan integral agar dapat mencapai efisiensi dan efektifitas yang maksimal. Pelbagai sub sistem ini berupa kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi. Kombinasi antara efisiensi dan efektivitas sangat penting sebab belum tentu masing – masing sub sistem dengan sendirinya mengasilkan efektivitas.
Efektivitas dan efisiensi dari setiap komponen Sistem Peradilan Pidana ditentukan pada sebuah sinkronisasi dan integrasi, karena dalam hal ini berbicara mengenai komponen dari Sistem Peradilan Pidana yang merupakan Penegakan Hukum yang didalamnya termasuk komponen LAPAS maka dari itu harus terjadinya sebuah sinkronisasi yang berupa struktural, (structural syncronization) atau sinkronisasi struktural, adalah keserampakan dan keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
Menurut penulis bahwa subsistem tersebut harus bisa koheren, koordinatif, dan integral antara keempat komponen tersebut sebagai penegak hukum namun dalam hal ini penulis akan melihat secara spesifikasi bagaimana peranan dari LAPAS untuk mewujudkan Integrated Criminal Justice System sebagaimana yang telah ditentukan dalam judul di pembahasan di atas. Jadi menurut penulis sebelum berbicara mengenai koheren, koordinatif, dan integral antara setiap komponen Sistem Peradilan Pidana maka berbicara terlebih dahulu berbicara efisiensi kerja dan efektifitas dari setiap komponen tersebut khususnya pada komponen LAPAS untuk bisa mewujudkan Integrated Criminal Justice System.
Ketika Komponen LAPAS tidak dapat bekerja efisien maka seperti apa yang dikemukakan oleh Muladi bahwa akan terjadi fragmetasi yang bersifat mutlak pada suatu sub sistem akan mengurangi fleksibilitas sistem dan pada gilirannya bahkan akan menjadikan sistem tersebut secara keseluruhan difungsional.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan ini diselenggarakan dalam rangka narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana yang pernah dilakukan. Hal tersebut adalah untuk menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan dibutuhkan keikutsertaan masyarakat baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya.
Melihat dari substansi di atas yang telah dikemukakan dalam Pasal 2 Undang – Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Permasyrakatan yang secara tidak langsung hal tersebut merupakan penjelasan dari substansi komponen LAPAS yang harus di implementasikan dalam kenyataannya, untuk dapat menghasilkan efektivitas dan efisiensi kerja dari komponen LAPAS agar dapat terwujudnya Integrated Criminal Justice System dengan terjadinya sebuah sinkronisasi dan integrasi dengan komponen Sistem Peradilan Pidana lainnya.
Dan dari cara keikutsertaan Masyarakat sebagai wujud untuk melanjutkan dan mengimplementasikan penjelasan UU No. 12 tahun 1995 tersebut yaitu dengan cara menerima kembali narapidana ketika narapidana sudah keluar dari Lembaga Permasyarakatan atau setelah menjalani pidananya agar dapat terwujudnya tujuan dari Sistem Peradilan Pidana dalam jangka panjang yaitu kesejahteraan Masyarakat.
Kita dapat melihat skema bagaimana peranan LAPAS sebagai komponen Sistem Peradilan Pidana untuk mewujudkan Integrated Criminal Justice System yang secara tidak langsung untuk mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana dalam sebuah sumber buku menyatakan:
B. Peranan lapas sebagai komponen sistem peradilan pidana untuk mendukung Integrated Criminal Justice System dihubungkan dengan kasus Lapas Tanjung Gusta
Apabila di analisis terkait dengan permasalahan kasus Lapas Tanjung Gusta yang dilihat secara sosiologis dalam kronologis kasus posisi dari LAPAS Tanjung Gusta bahwa dilihat dari para narapidana yang berontak karena kekecewaannya terhadap pemerintah maupun dalam hal infrastruktur yang memang dikeluhkan Karena Overkapasitas yang merupakan akibat dari menumpuknya jumlah tahanan dan narapidana, yang berhubungan langsung dengan fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan kasus pidana. Lapas merupakan muara akhir sistem pidana Indonesia, atau merupakan hilir dari proses peradilan pidana. Maka dari itu, permasalahan ini bukan “hanya” masalah keamanan lapas, tapi merupakan masalah sistem peradilan pidana dari hulu ke hilir.
Dan yang kedua disebabkan dari struktur atau sebuah petugas LAPAS itu sendiri karena salah satu sumber mengatakan Kedua, lemahnya kemampuan LP untuk memenuhi hak-hak dasar narapidana. Ketiga, terciptanya budaya penjara yang memungkinkan memiliki posisi tawar. Budaya penjara itu hubungan informal antara narapidana dengan petugas. Ada kedekatan dan komunikasi yang terjadi antara keduanya. Narapidana dan petugas saling memanfaatkan, contohnya narapidana punya uang minta belikan makan nasi padang di luar. Kasus yang sama seperti pada kasus Ayin dan Fredy. Keempat, lemahnya pengawasan LP sendiri. Hal – hal tersebutlah yang menyebabkan bibit terjadinya kerusahan LAPAS yaitu salah satunya adalah LAPAS Tanjung Gusta di Medan Sumatera Utara, jika di analisis dalam peranan LAPAS sebagai komponen Sistem Peradilan Pidana hal tersebut sudah sangat tidak mencerminkan atau mewujudkan Integrated Criminal Justice System, karena bisa diverifikasi dengan terjadinya hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa komponen Lapas sebagai Komponen Sistem Peradilan Pidana tidak menunjukan efisiensi kerja dan efektivitas.
Menurut Penulis Efisiensi dan efektivitas kerja dari setiap komponen sangatlah penting untuk terjaminnya sinkronisasi dan integrasi sehingga menimbulkan koordinatif di setiap komponen satu dengan komponen lainnya. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) harus dilihat sebagai the network of courts and tribunals which deal with criminal law and its enforcement. Pemahaman pengertian tentang system dalam hal ini harus dilihat konteks baik sebagai physical System dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan maupun sebagai Abstract System dalam arti gagasan – gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.
Sistem peradilan pidana dalam hal ini tidak dapat dilihat pula sebagai deterministic System yang bekerjanya dapat ditentukan secara pasti, namun harus dilihat sebagai probabilistic System yang hasilnya secara pasti tidak dapat diduga. Prof. Hulsman dalam hal ini menyatakan, bahwa tujuan sistem peradilan yang positif berupa rasionalisasi terpidana sering justru berakibat Condition of Unwerfare berupa penderitaan.
Dengan melihat pendapat diatas oleh karenanya wajar ketika LAPAS terjadi sebuah kerusuhan karena rasionalisasi terpidana sering justru berakibat berupa penderitaan, dan selain daripada itu timbulnya beberapa faktor lain seperti hal nya para petugas Lapas yang sudah menjadi Budaya penjara yaitu hubungan informal antara narapidana dengan petugas. Ada kedekatan dan komunikasi yang terjadi antara keduanya. Narapidana dan petugas saling memanfaatkan dan lemahnya Lapas dalam memenuhi hak – hak terpidana oleh karenanya dalam hal ini timbulah suatu kerusuhan LAPAS Tanjung Gusta. Itulah yang harus diperhatikan, jadi langkah pertama dalam penyelesaiannya adalah hal – hal tersebut yang harus bisa dihindari karena itu semua merupakan penyebab dan bibit dari timbulnya keurusuhan LAPAS dan dalam hal ini harus ada upaya pemerintah untuk melakukan upaya yang dianggap tegas kepada petugas LAPAS apabila terjadi kontak informal dengan terpidana dan dilakukannya sebuah cara atau sebuah treatment baru dalam perlakuan Petugas terhadap narapidana dengan pendekatan persuasif seperti halnya dialog mengenai keluhan – keluhan dari terpidana, serta meningkatkan upaya pemerintah dalam memenuhi hak – hak nya sebagai terpidana karena kondisi terpidana bisa dikatakan sedang mengalami penderitaan.
Menurut penulis itu semua merupakan tahap – tahap penyelesaian dan dimungkinkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja pada komponen LAPAS sebagai komponen Sistem Peradilan Pidana, sehingga dapat mewujudkan keserampakan atau keselarasan (Syncronization) pada komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Yang mana itu semua adalah semata – mata untuk mewujudkan Integrated Criminal Justice System yang secara tidak langsung untuk mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana.