Selamat Datang di Blogger Ferdy Rizky Adilya, S.H., Dalam blogger ini mungkin terdapat tulisan yang memiliki hak cipta di dalamnya, Harap menuliskan sumbernya apabila akan mengutip dalam tulisan dibawah ini, Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.

Penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

--J.E. Sahetapy--

Minggu, 13 Oktober 2013

Rangkuman Teori-Teori Kriminologi Dari Buku Teori dan Kapita Selekta Kriminologi Atmasasmita Romli, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung . PT. Refika Aditama.


TEORI-TEORI  YANG  TERDAPAT  DALAM  KRIMONOLOGI
A. TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL (DIFFERENTIAL ASSOCIATION)
1.    Tingkah laku kriminal di pelajari
2.    Tingkah laku kriminal di pelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi
3.    Bagian penting dari memepelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.
4.    Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan mitivasi/dorongan atau alasan pembenar.
5.    Dorongan  tertentu di pelajari melalui penghayatan atau peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
6.    Seseorang menjadi delinquent karena penghayatanya terhadap peraturan perundang-undangan : lebih suka melanggar dari pada menaatinya.
7.    Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung pada frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
8.    Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
9.    Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tinglah laku kriminal itu tidak dapat di jelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena tingkah laku non kriminalpun merupakan mencerminkan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.




Konsep Differential social organization
Konsep lain yang di kemukakan sutherland, di samping differential association adalah konsep differential social arganization teory. Bertitik dari teori pluralis, teori yang di maksud mengakui keberadaan berbagai ragam kondisi sosial , dengan nilai-nilai internal dan tujuannya masing-masing dan mempergunakan sarana-sarana yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.    Denga demikian sebenarnya sutherland menolak pemikiran merton yang mengungkapkan bahwa kejahatan dan penyimpangan tingkah laku seseorang adalah sebagai hasil dari perbedaan kepentingan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Bahkan dapat di katakan bahwa teori differential social arganization mengakui keberadaan berbagai ragam organisasi masyarakata yang terpisah dan masing-masing bersaing satu sama lain dengan norma dan nilai-nilainya sendiri-sendiri. Di pihak lain, teori asosiasi diferensial justru hendak mencari dan mengemukakan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma yang di maksud dapat di komunikasikan atau di alihkan dari kelompok masyarakat yang satu kepada yang lainya. 
Beberapa kritik dan pendapat pakar kriminilogi terhadap teori asosiasi diffrerensial
Kritik matza tersebut terasa sangat pedas dan tajam karena ia mengatakan bahwa teori sutherland mengabaikan apa yang merupakan arti dan tujuan hidup manusia. Bahkan di katakannya pelaku kejahatan oleh teori tersebut di pandang sebagai pelaku pasif dalam menghadapi tingkah laku kriminal dan nonkriminal, meskipun demikian jika di teliti , teori asosiasi diferensial pada peryataan keenam tentang favorable and unfavoraable to violation of law tampak pada teori di maksud tidak memandang pelaku sebagai pelaku pasif-tetapi menurut hemat penulis-merupakan pelaku aktif meskipun pernyataan ketujuh di katakan bahwa differentisal association may vary in frequency, priority, duration and intensity.
Box, (1991) di pihak lain memberikan komentarnya dengan mengatakan bahwa teori asosiasi di ferensial merupakan peletak teori tentang pola hubungan antara tinglah laku manusia.
Nettler, (1984) mengemukakan bahwa judul istilah asosiasi diferensial adalah karena menyesatkan karena ia seakan-akan menunjuk pada suatu hubungan pergaulan antarindividu, sebagaimana halnya teori bad companion yang menghasilkan kejahatan.
Clinard, meskipun mengakui hipotesis teori asosiasi diferensial menyatakan bahwa teori tersebut tidak dapat menjelaskan secara memadai semua kasus pelanggaran hukum, terutama terhadap transaksi yang terjadi di pasar gelap dan tidak dapat di perlakukan secara tepat terhadap adanya perbedaan-perbedaan individual sepanjang yang menyangkut masalah pentaatan terhadap UU dalam kaitan dengan dunia perdagangan.
Cullen (1983) mengemukakan bahwa sutherland mengetengahkan eksistensi dan transmisi budaya kriminal, sedangkan ia mengabaikan masalah asal-usul budaya di maksud. Sekalipun sutherland sependapat dengan sellin (1938) mengenai adanya konflik budaya menjadi (culture conflict). Ia berpendapat bahwa suatu budaya menjadi ”budaya kriminal” karena di bentuk oleh kelompok yang kuat.







B.  TEORI  ANOMI
Perkembangan masyarakat di dunia terutama setelah era depresi besar yang melanda khususnya masyarakat eropa pada tahun 1930-an telah banyak menarik perhatian pakar sosiologi saat ini. Hal ini disebabkan telah terjadi perubahan struktur masyarakat sebagai akibat dari depresi tersebut, yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah terjadi ‘degurasi” di dalam masyarakat. Keadaan inilah yang di namakan sebagai  ”anomi”  oleh durkheim.
Pakar sosiologi melihat peristiwa tersebut lebih jauh lagi mengambil makna darinya sebagai suatu bukti atau petunjuk bahwa terdapat hubungan erat anatara struktur masyarakat dengan penyimpangan tingkah laku individu.

Konsep anomi
Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri di landaskan pada asumsi bahwa rata-rata yang bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang merupakan tindakan akhir puncak dari suatu aomi ; bervarias atas dua keadaan sosial, yaitu sosial integrition dan social deregulation.
Durkhein mengemukakan bahwa bunuh diri atau “suicide” berasal dari 3 kondisi sosial yang menekan (stres),  yaitu :
1)   Derugulasi kebutuhan atau anomi
2)   Regulasi yang keterlaluan atau fatalisme
3)   Kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
Hipotesis keempat dari ”suicide” merujuk pada proses sosialisasi dari seseorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic” yang, mendorong yang bersangkutan untuk melakukan bunuh diri.  Yang menarik perhatian dari konsep anomi durkheim adalah di gunakan konsep di maksud lebih lanjut untuk menjelaskan penyimpanagan tingkah laku yang di sebabkan kondisi ekonomi dalam masyarakat. Secara gemilang, konsep ini telah di kembangkan lebih lanjut oleh merton (1938) terhadap penyimpanagan tingkah laku yang terjadi pada masyarakat amerika. Merton menjelaskan bahwa masyarakat (amerika,pen) telah melembaga suatu cita-cita (goals) untuk mengejar sukses semaksimal mungkin yang umumnya diukur dari harta kekayaan seseorang. Pada umunnya, mereka yang melakukan cara yang bertentangan dengan UU tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah dan golongan minoritas. Ketidak samaan kondisi sosial yang ada di masyarakat (amerika ,pen). Adalah di sebabkan proses terbentuknya masyarakat itu sendiri, yang menurut pandangan  merton, struktur masyarakat demikian adalah anomistis.
Pada saat merton pertama menulis artikel, “social structureand anomi”  teori-teori ini mengenai penyimpangan tingkah laku di maksud abnormal. Oleh karena itu penjelasan terletak pada individu pelakunya.
Berbeda dengan pendapat teori-teori tersebut, merton justru mecoba mengemukakan bagaimana struktur masyarakat  mengakibatkan tekanan begitu kuat pada diri seseorang di dalam masyarakat sehingga ia melibatkan dirinya kedalam tingkah laku yang bertentangan dengan UU. Box mengemukakan pendapatnya bahwa semula merton dengan pendapatnya dengan penjelasan mengenai tekanan sosial mengikuti konsep anomi durkheim. Meskipun kemudian dalam argumentasinya ia memalingkan perhatiannya dari konsep anomi durkheim yang menekankan pentingnya sarana-sarana yang normatif untuk mencapai nilai-nilai struktur , kapada differential acces ti opprtunity structures. 
Kritik terhadap konsep anomi
Traub dan little (1975) memberikan kritiknya sebagai berikut : teori anomi tampaknya beranggapan bahwa  di setiap masyarakat terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang dominan yang di terima sebagian besar masyarakatnya dan teori ini tidak menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu tertentu dari golongan masyarakat bawah yang melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Cohen (1955) dalam bukunya, dulinquent boys, menolak analisis merton  karena tidak dapat di gunakan untuk menjelaskan juvenile delinquency, menurut cohen, teori anomi tidak dapat menjelaskan secara memadai kegiatan-kegiatan anak remaja delinkuen. Disamping mereka melibatkan diri mereka ke dalam cara-cara yang illegal untuk memperoleh sukses, meraka juga melakukan tindakan-tindakan yang bnersifat ” nonutitarian”, kejam, dan negatif.
Cullen (1983) menyampaikan kritiknya sebagai berikut :
1.    Bahwa durkheim tidak jelas merinci sifat dari keadaan sosial yang sedang terjadi. Sekalipun durkheim mengemukakan pengertian-pengertian umum dengan menunjukan pada istilah common ideas, belief, customs, tendencies, dan opinions, manun pengertian-pengertian tersebut tampak berdiri sendiri dan bersifat eksternal dari kesadaran individu.
2.    Durkheim tidak konsisten dalam mejelaskan bagaimana current anomy menyebabkan bunuh diri.
3.     Dalam seluruh tulisanya tentang “suicide”, durkheim tidak berhasil membahas bagaimana kondisi sosial dapat membentuk penyimpangan tingkah laku di masyarakat.
C.  TEORI KONTROL SOSIAL DA CONTAINMENT 
Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk pada pembahasan  delekuensi dan kejahatan yang di kaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis : anatara lain struktur keluarga , pendidikan  dan kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainya..



Pemunculan teori kontrol sosial dikaitkan dengan 3 ragam perkembangan dalam kriminologi yaitu :
1.    Adanya reaksi terhadap orientasi labelimg dan konflik dan kembali pada kepada penyelidikan tingkah laku kriminal. Kriminalogi konservatif kurang menyukai kriminologi baru atau new criminology  dan hendak kembali pada subyek semula yaitu : penjahat.
2.    Munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.
3.    Teori kontrol sosial telah di kaitkan dengan suatu teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni self report survey.
Reis mengemukakan  bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan anak/remaja. Ketiga komponen tersebut adalah :
1)   Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa kanak-kanak
2)   Hilangnya kontrol tersebut dan
3)   Tidak adanya norma-norma sosial atau konplik  anatara norma-norma di maksud (di sekolah, orang tua, atau lingkungan dekat)
Reiss membedakan dua macam kontrol yaitu :
1)   Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat (the ability of the individual to refrain from meeting needs in ways which conflict with the norm and rules of the community).
2)   Socail control atau kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakn norma-norma atau peraturan menjadi efektif (the ability of the social groups or institutions to make norm or rules effective.

          Pendekatan lain di gunakan oleh walter reckles  (1961) dengan bantuan simon dinitz yang mengemukakan containment theory, teori ini, menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil akibat dari interelisasi antara dua bentuk kontrol , yaitu kontrol aksternal atau social control dan kontrol internal atau internal control.  Ivan f.Nye (1958) telah mengemukakan teori social control tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan  tetapi merupakan penjelasan bersifat kasuistas. Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsusr-unsur psikologis, di samping ada unsur subkultur dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuensi menurut nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif.
Di akui oleh Nye, terdapat empat tipe kontrol sosial sebagai berikut :
1.    Direct control which cames from discipline, restrictions, punishment
2.    Internalized control which is the inner control from conscience
3.    Indirect control which is exerted by not wanting to hurt or go against the wishes of parent or other individual with whon the person identifies
4.    The availability of alternative means to goals and values.
Menurut reckless , containment internal dan eksternal memilki posisi netral , berada di antara presi sosial dan  tarikan sosial lingkungan dan dorongan dari dalm individu. Posisi individu dalam dan antara faktor-faktor tersebut di atas adalah sebagai berikut :
                                                Social-pressures
                                                   Pull-factors
                                           External containment
Individual/s
                                           Inner containment =central positif
                                                  Push-factor
D.  TEORI LABELING
banyak pakar kriminologi menghubungkan teori labeling dengan buku frank tannenbaum (1938) crime and the community. Menurut tannenbaum, kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil konplik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, dimana terdapat dua definisi yang bertentangan dengan tingkah laku yang layak.
DUA MACAM LABELING
Pendekatan teori labeling dapat di bedakan dalam dua bagian :
1.    Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau lebel.
2.    Efek labeling terhadap penyimpangan tinglah laku berikutnya.  
         Persoalan labeling kedua (efek lebeling) adalah bagaimana labeling mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap. Persoalan ini memeperlakukan lebeling sebagai variabel yang independen atau variabel bebas /mempengaruhi. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses bagaimana labeling mempengaruhi seseorang yang terkena cap/lebel untuk melakukan penyimpangan tingkah lakunya.
1)   Cap/label tersebut menarik perhatian pengamat dan mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya dan kemudian seterusnya cap/lebel itu di berikan padanya oleh si pengamat.
2)   Label atau cap tersebut sudah di adopsi oleh seseorang dan mempengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagai mana cap/lebel itu di berikan padanya oleh si pengamat.



Salah satu dari kedua proses di atas dapat mempersebar penyimpanag tingkah laku (kejahatan) dan membentuk karier kriminal seseorang.
Schrag (1971) menyimpulkan asumsi dasar teori labeling sebagai berikut :
1.     Tidak ada satu perbuatan terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2.     Rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat di sesuaikan dengan kepentingan mereka yang mempunyai kekuasaan.
3.     Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar UU, melainkan ia di tetapkan demikian oleh penguasa.
4.     Sehubungan dengan kenyataan bahwa setiap orang dapat berbuat tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat di kelompokan menjadi dua bagian : kelompok kriminal dan nonkriminal.
5.     Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses lebeling.
6.     Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem peralihan pidana adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari kareteristik pelanggarannya.
7.     Usai, tingkat sosial-ekonomi, dan ras merupakan kareteristik semua pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana.
8.     Sistem peradilan pidana di bentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang di pandang sebagai penjahat.
9.     Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identitas dengan citra sebagai deviant dan subkultur serta menghasilkan rejection of the rejector.
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan pada pembuatan penyimpangan tingkah laku awal ;sedangnkan secondary deviance adalah berkaiatan dengan reorganisasi psikologi dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat.
Sekali cap atau status ini dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang bersangkutan untuk melanjutkan melepaskan diri dari cap yang telah di berikan masyarakat terhadap dirinya.
Kritik terhadap teori ini adalah sebagai berikut :
1.    Teori terlalu bersifat deterministik dan menolak pertanggung jawaban individual. Penjahat bukanlah robot yang pasif dari reaksi masyarakat.
2.    Masih ada penyimpangan tingkah laku lainya yang sudah secara interistik merupakan kejahatan, seperti : memperkosa seorang peremouan, membunuh dan lain-lain, sehingga teori ini tidak berlaku lagi semua jenis kejahatan.
3.    Jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan persoalan reaksi masyarakat, maka bagaiamnapun dengan bentuk penyimpangan tinglah laku yang tidak tampak atau tidak terungkap/tertangkap pelakunya.
4.    Teori ini mengabaikan  faktor penyebab awal dari munculnya penyimpangan tingkah laku.
5.    Teori labeling selalu beranggapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan tampak argumentasinnya adalah, cap di lekatkan secara random. Kenyataan bahwa haya kejahatan yang sangat serius yang memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
E.  TEORI PARADIGMA  STUDI KEJAHATAN
Simence dan Lee mengetengahkan tiga perspektif tentang hubungan hukum dan organisasi kemasyarakatan di satu pihak dan tiga paradigma tentang studi kejahatan. Perspekti dimaksud adalah perspektif ’consesus’, ’pluralist’ dan perspektif ’conflict’ atau di pandang sebagai  suatu keseimbangan yang bergerak dari konservatif menuju keliberal dan berakhir menuju kepada perspektif radikal. Sementara itu ketiga paradigma adalah paradigma positicve, interaksionis, dan paradigma sosialis. Ketiga perspektif dan paradigma di maksud memilki kaitan erat satu sama lain sehingga secara skematis dapat di gambarkan sebagai berikut.
PERSPEKTIF                  KONSENSUS              PLURALIS            KONFLIK
                                 (Conservative)                  (liberal)           (radikal)
PARADIGMA                  POSITIVE          INTERAKSIONIS         SOSIALIS

          Pada sekitar tahun 1960an pakar-pakar kriminologi mulai kembali mempersoalkan hubungan antara hukum dan masyarat. Sekalian perhatian utama tetap pada manusia penjahat akan tetapi pada dekade terakhir banyak pakar kriminologi mengakui peranan hukum sangat penting dalam menentukan  sifat dan karekteristik suatu kejahatan.
Perspektif konensus dari nilai-nilai di tengah masyarat AS. Prinsip-prinsip yang di anut oleh perspektif ini adalah sebagai berikut:
1.    hukum merupakan pencerminan dari masyarakat banyak.
2.    hukum melayani orang tanpa terkecuali atau secara negatif dapat di katakan bahwa hukum tidak dapat membedakan seseorang atas dasar ras agama dan suku bangsa.
3.    Mereka yang melanggar mencerminkan keunikan-keunikan atau merupakan kelompok yang unik.
            Prinsip-prinsip yang di anut oleh perspektif konsensus ini  mendapatkan dampak terhadap paradigma positivis dari studi kejahatan, sebagai sautu paradigma kejahatan, positivisme menekankan pada determinisme dimana tingkah laku seseorang adalah akibat dari sebab-akibat antara individu yang bersangkutan dengan lingkungannya. Penganut paradigma ini secara tugas memisahkan secara mutlak antara ilmuwan (yang akan menelitinya) dengan objek yang akan di teliti sehingga gejala yang di amati di luar jangkauan subjektivitas si peneliti. Terhadap pandangan tersebut banyak kritik yang di lontarkan antara lain mengenai objektivitas tersebut di atas.

Prinsip-prinsip paradigma ini adalah sebagai berikut :
1)   Tingkah laku manusia merupakan hasil dari hukum sebab akibat.
2)   Hubungan sebab akibat tersebut dapat di ungkapkan melalui metode-metode yang bersifat ilmiah.
3)   Penjahat mewakili hubungan sebab-akibat yang unik.
4)   Jika hubungan sebab akibat ini dapat diketahui (melalui metode ilmiah) maka tingkah laku kriminal dapat diprediksi dan dapat di awasi dan penjahat itu dapatdi bina.
          Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, kaitan antara perspektif konsensus tentang hubungan hukum dan organisasi kemasyarakatan dengan paradigma studi kejahatan terletak pada pengakuan keduannya tentang keunikan hubungan sebab akibat yang menghasilkan keunikan dalam tingkah laku seseorang.  Hukum menurut model pluralis tumbuh dalam masyarakat bukan karena adanya kesepakatan-kesepakatan di antara-anatara anggota-anggota, melainkan justru karena tidak adanya kesepakatan di anatara anggota dalam masyarakat.
Prinsip yang di anut oleh model pluralis adalah sebagi berikut :
1)   Masyarakat terdiri dari berbagai ragam kelompok.
2)   Dalam kelompok-kelompok ini terjadilah perbedaan, bahkan pertentangan mengenai apa yang di sebut benar dan salah.
3)   Terdapat kesepakatan tentang mekanisme penyelesaian sengketa.
4)   Sistem hukum memilki sifat bebas nilai.
5)   Sistem hukum berpihak pada kesejahteraan terbesar masyarakat.
Pengaruh di maksud kemudian menumbuhkan pentingnya peran “labeling” pada penganut paradigma interaksionos.


Prinsip-prinsip yang di anut oleh paradigma interaksionis adalah sebagai berikut:
1)   Kejahatan bukanlah terletak pada tingkah lakunya, melainkan pada reaksi yang menucul terhadapnya.
2)   Reaksi terhadap penjahat akan menghasilkan cap sebagai penjahat.
3)   Seseorang yang di cap sebagai penjahat dengan sendirinya akan termasuk kelompok penjahat.
4)   Seseorang di beri cap sebagi penjahat melalui suatu proses interaksi
5)   Terdapat kecenderungan bagi seseorang yang di cap sebagai penjahat akan mengidentifikasikan dirinya sebagai penjahat.
Perspektif konflik beranjak dari asumsi-asumsi sebagai berikut :
1)     Bahwa pada setiap tingkatan, masyarakat cenderung mengalami perubahan.
2)     Pada setiap kesempatan atau penampilan, dalam masyarakat sering terjadi konflik.
3)     Setiap unsur masyarakat mendukung kearah perubahan-perubahan.
4)     Kehidupan masyarakat di tandai pula oleh adanya “paksaan” antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.
Berangkat dari asumsi tersebut di atas, perspektif konflik menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :
1)   Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda.
2)   Terjadi perbedaan penilaian dalam kelompok-kelompok tersebut mengenai baik dan buruk.
3)   Konflik antara kelompok-kelompok tersebut mencerminkan kekuasaan politik.
4)   Hukum di susun untuk kepentingan mereka yang memilki kekuasaan politik.
5)   Kepentingan utama dari pemegang kekuasaan politik untuk menegaskan hukum adalah menjaga dan memelihara kekuasaanya.
           Jika kita lihat prinsip-prinsip yang di anut perspektif konflik dan pluralis tampaknya ada persamaan. Persamaan pendapat terletak pada pengakuan keduanya tentang pembagian kelompok masyarakat dengan berbagai ragam padangan tentang nilai baik dan buruk. Namun keduanya berbeda dalam hal bagaimana perselisihan atau pertentangan tersebut harus di selesaikan. Menurut model pluralis, konflik kepentingan di selesaikan melalui kesepakatan-kesepakatan ; sedangkan model konflik  tidak yakin bahwa konflik kepentingan dapat di selesaikan, bahkan model konflik menuduh bahwa sesungguhnya tidak ada penyelesaian, melainkan yang ada hanyalah “paksaan” dari pemegang kekuasaan politik kepada kelompok yang tidak berbeda.
Pengaruh model konflik ini terhadapa paradigma studi kejahatan tampak dari prinsip-prinsip yang di anutnya sebagai berikut :
1)   Negara kapitalis muncul untuk memelihara kepentingan pemegang dominasi ekonomi AS.
2)   Kepentingan utama dari kaum kapitalis adalah memelihara orde ekonomi dan tertib sosial yang mendukung kekuasaanya.
3)   Tujuan utama dari hukum pidana adalah menjaga tertib ekonomi dan tertib masyarakat yang menguntungkan kepada pemegang kekuasaan melalui kriminalisasi tingkah laku yang mengancam tertib di atas .
4)   Tinglah laku yang mengancam tertib-tertib di atas diawasi melalui pengawasan yang di lakukan oleh mereka yang menjadi alat pemegang kekuasaan politik.
5)   Negara kapitalis menghendaki agar kelas masyarakat yang tidak di untungkan (masyarakat ekonomi lemah) di awasi melalui kekerasan atau paksaan yang tercermin dalam sistem hukumnya.
6)   Masalah kejahatan di negara kapitalis hanya dapat di selesaikan melalui pembentukan suatu masyarakat baru melandaskan prinsip-prinsip sosialis.

Ø  Pemakaian teori assosiasi diferensial (differential association) dari sutherland adalah di dasarkan atas pertimbangan bahwa sampai saat ini sangat sulit untuk mempertahankan atau memakai teori yang mengatakan bahwa kejahatan itu di wariskan dari leluhur-leluhur. Bahkan kecenderungan teori tentang kejahatan pada dekade ke-20 ini , adalah kejahatan merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungan.
Ø  Pemakaian teori anomi dalam tulisan ini di landaskan kepada kenyataan bahwa kejahatan di indonesia, bahkan di negara manapun tidak dapat dilepaskan dari struktur kehidupan masyarakatnya. Sekalipun demikian diakui latar belakang sosiologi budaya  lahirnya teori di maksud berbeda secara mendasar dengan sosial budaya abad ini.
Ø  Pemakaian teori kontrol sosial dalam tulisan ini adalah dilandaskan kepada kenyataan bahwa kultur masyarakat indonesia masih menjunjung tinggi norma kesusilaan dan tata krama adat ketimuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar