TEORI-TEORI YANG TERDAPAT
DALAM KRIMONOLOGI
A. TEORI ASOSIASI
DIFERENSIAL (DIFFERENTIAL ASSOCIATION)
1. Tingkah laku kriminal di pelajari
2. Tingkah laku kriminal di pelajari dalam hubungan
interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi
3. Bagian penting dari memepelajari tingkah laku kriminal
terjadi dalam kelompok yang intim.
4. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya
teknik melakukan kejahatan dan mitivasi/dorongan atau alasan pembenar.
5. Dorongan tertentu
di pelajari melalui penghayatan atau peraturan perundang-undangan; menyukai
atau tidak menyukai.
6. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatanya
terhadap peraturan perundang-undangan : lebih suka melanggar dari pada
menaatinya.
7. Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung pada
frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
8. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui
pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme
yang berlaku dalam setiap proses belajar.
9. Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan
dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tinglah laku kriminal itu
tidak dapat di jelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena
tingkah laku non kriminalpun merupakan mencerminkan dari kebutuhan umum dan
nilai-nilai yang sama.
Konsep Differential
social organization
Konsep lain yang di kemukakan sutherland, di
samping differential association adalah konsep differential social arganization
teory. Bertitik dari teori pluralis, teori yang di maksud mengakui keberadaan
berbagai ragam kondisi sosial , dengan nilai-nilai internal dan tujuannya
masing-masing dan mempergunakan sarana-sarana yang berbeda untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Denga demikian
sebenarnya sutherland menolak pemikiran merton yang mengungkapkan bahwa
kejahatan dan penyimpangan tingkah laku seseorang adalah sebagai hasil dari
perbedaan kepentingan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Bahkan dapat di
katakan bahwa teori differential social arganization mengakui keberadaan
berbagai ragam organisasi masyarakata yang terpisah dan masing-masing bersaing
satu sama lain dengan norma dan nilai-nilainya sendiri-sendiri. Di pihak lain,
teori asosiasi diferensial justru hendak mencari dan mengemukakan bagaimana
nilai-nilai dan norma-norma yang di maksud dapat di komunikasikan atau di
alihkan dari kelompok masyarakat yang satu kepada yang lainya.
Beberapa
kritik dan pendapat pakar kriminilogi terhadap teori asosiasi diffrerensial
Kritik matza tersebut
terasa sangat pedas dan tajam karena ia mengatakan bahwa teori sutherland
mengabaikan apa yang merupakan arti dan tujuan hidup manusia. Bahkan di
katakannya pelaku kejahatan oleh teori tersebut di pandang sebagai pelaku pasif
dalam menghadapi tingkah laku kriminal dan nonkriminal, meskipun demikian jika
di teliti , teori asosiasi diferensial pada peryataan keenam tentang favorable
and unfavoraable to violation of law tampak pada teori di maksud tidak
memandang pelaku sebagai pelaku pasif-tetapi menurut hemat penulis-merupakan
pelaku aktif meskipun pernyataan ketujuh di katakan bahwa differentisal association
may vary in frequency, priority, duration and intensity.
Box, (1991) di pihak lain
memberikan komentarnya dengan mengatakan bahwa teori asosiasi di ferensial
merupakan peletak teori tentang pola hubungan antara tinglah laku manusia.
Nettler, (1984)
mengemukakan bahwa judul istilah asosiasi diferensial adalah karena menyesatkan
karena ia seakan-akan menunjuk pada suatu hubungan pergaulan antarindividu,
sebagaimana halnya teori bad companion yang menghasilkan kejahatan.
Clinard, meskipun mengakui
hipotesis teori asosiasi diferensial menyatakan bahwa teori tersebut tidak
dapat menjelaskan secara memadai semua kasus pelanggaran hukum, terutama
terhadap transaksi yang terjadi di pasar gelap dan tidak dapat di perlakukan
secara tepat terhadap adanya perbedaan-perbedaan individual sepanjang yang
menyangkut masalah pentaatan terhadap UU dalam kaitan dengan dunia perdagangan.
Cullen (1983) mengemukakan
bahwa sutherland mengetengahkan eksistensi dan transmisi budaya kriminal,
sedangkan ia mengabaikan masalah asal-usul budaya di maksud. Sekalipun
sutherland sependapat dengan sellin (1938) mengenai adanya konflik budaya
menjadi (culture conflict). Ia berpendapat bahwa suatu budaya menjadi ”budaya
kriminal” karena di bentuk oleh kelompok yang kuat.
B. TEORI ANOMI
Perkembangan masyarakat di dunia terutama
setelah era depresi besar yang melanda khususnya masyarakat eropa pada tahun
1930-an telah banyak menarik perhatian pakar sosiologi saat ini. Hal ini
disebabkan telah terjadi perubahan struktur masyarakat sebagai akibat dari
depresi tersebut, yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah terjadi
‘degurasi” di dalam masyarakat. Keadaan inilah yang di namakan sebagai ”anomi” oleh durkheim.
Pakar sosiologi melihat peristiwa tersebut lebih jauh
lagi mengambil makna darinya sebagai suatu bukti atau petunjuk bahwa terdapat
hubungan erat anatara struktur masyarakat dengan penyimpangan tingkah laku
individu.
Konsep anomi
Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri
di landaskan pada asumsi bahwa rata-rata yang bunuh diri yang terjadi di
masyarakat yang merupakan tindakan akhir puncak dari suatu aomi ; bervarias
atas dua keadaan sosial, yaitu sosial integrition dan social deregulation.
Durkhein mengemukakan bahwa bunuh diri atau “suicide”
berasal dari 3 kondisi sosial yang menekan (stres), yaitu :
1) Derugulasi kebutuhan atau anomi
2) Regulasi yang keterlaluan atau fatalisme
3) Kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
Hipotesis keempat dari ”suicide” merujuk
pada proses sosialisasi dari seseorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic”
yang, mendorong yang bersangkutan untuk melakukan bunuh diri. Yang menarik perhatian dari konsep anomi
durkheim adalah di gunakan konsep di maksud lebih lanjut untuk menjelaskan
penyimpanagan tingkah laku yang di sebabkan kondisi ekonomi dalam masyarakat.
Secara gemilang, konsep ini telah di kembangkan lebih lanjut oleh merton (1938)
terhadap penyimpanagan tingkah laku yang terjadi pada masyarakat amerika.
Merton menjelaskan bahwa masyarakat (amerika,pen) telah melembaga suatu
cita-cita (goals) untuk mengejar sukses semaksimal mungkin yang umumnya diukur
dari harta kekayaan seseorang. Pada umunnya, mereka yang melakukan cara yang
bertentangan dengan UU tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah dan
golongan minoritas. Ketidak samaan kondisi sosial yang ada di masyarakat
(amerika ,pen). Adalah di sebabkan proses terbentuknya masyarakat itu sendiri,
yang menurut pandangan merton, struktur
masyarakat demikian adalah anomistis.
Pada saat merton pertama menulis artikel, “social
structureand anomi” teori-teori ini
mengenai penyimpangan tingkah laku di maksud abnormal. Oleh karena itu penjelasan
terletak pada individu pelakunya.
Berbeda dengan pendapat teori-teori tersebut,
merton justru mecoba mengemukakan bagaimana struktur masyarakat mengakibatkan tekanan begitu kuat pada diri
seseorang di dalam masyarakat sehingga ia melibatkan dirinya kedalam tingkah
laku yang bertentangan dengan UU. Box mengemukakan pendapatnya bahwa semula
merton dengan pendapatnya dengan penjelasan mengenai tekanan sosial mengikuti
konsep anomi durkheim. Meskipun kemudian dalam argumentasinya ia memalingkan
perhatiannya dari konsep anomi durkheim yang menekankan pentingnya
sarana-sarana yang normatif untuk mencapai nilai-nilai struktur , kapada
differential acces ti opprtunity structures.
Kritik
terhadap konsep anomi
Traub dan little (1975) memberikan kritiknya
sebagai berikut : teori anomi tampaknya beranggapan bahwa di setiap masyarakat terdapat nilai-nilai dan
norma-norma yang dominan yang di terima sebagian besar masyarakatnya dan teori
ini tidak menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu tertentu
dari golongan masyarakat bawah yang melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Cohen (1955) dalam bukunya, dulinquent boys,
menolak analisis merton karena tidak
dapat di gunakan untuk menjelaskan juvenile delinquency, menurut cohen, teori anomi
tidak dapat menjelaskan secara memadai kegiatan-kegiatan anak remaja delinkuen.
Disamping mereka melibatkan diri mereka ke dalam cara-cara yang illegal untuk
memperoleh sukses, meraka juga melakukan tindakan-tindakan yang bnersifat ”
nonutitarian”, kejam, dan negatif.
Cullen (1983) menyampaikan kritiknya sebagai berikut :
1. Bahwa durkheim tidak jelas merinci sifat dari keadaan
sosial yang sedang terjadi. Sekalipun durkheim mengemukakan
pengertian-pengertian umum dengan menunjukan pada istilah common ideas, belief,
customs, tendencies, dan opinions, manun pengertian-pengertian tersebut tampak
berdiri sendiri dan bersifat eksternal dari kesadaran individu.
2. Durkheim tidak konsisten dalam mejelaskan bagaimana
current anomy menyebabkan bunuh diri.
3. Dalam seluruh
tulisanya tentang “suicide”, durkheim tidak berhasil membahas bagaimana kondisi
sosial dapat membentuk penyimpangan tingkah laku di masyarakat.
C. TEORI KONTROL SOSIAL DA CONTAINMENT
Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk
pada pembahasan delekuensi dan kejahatan
yang di kaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis : anatara
lain struktur keluarga , pendidikan dan
kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda
dengan teori kontrol lainya..
Pemunculan teori kontrol sosial dikaitkan dengan 3 ragam
perkembangan dalam kriminologi yaitu :
1. Adanya reaksi terhadap orientasi labelimg dan konflik
dan kembali pada kepada penyelidikan tingkah laku kriminal. Kriminalogi
konservatif kurang menyukai kriminologi baru atau new criminology dan hendak kembali pada subyek semula yaitu :
penjahat.
2. Munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu
ilmu baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis
dan berorientasi pada sistem.
3. Teori kontrol sosial telah di kaitkan dengan suatu
teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni self report
survey.
Reis mengemukakan
bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan
anak/remaja. Ketiga komponen tersebut adalah :
1) Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa
kanak-kanak
2) Hilangnya kontrol tersebut dan
3) Tidak adanya norma-norma sosial atau konplik anatara norma-norma di maksud (di sekolah,
orang tua, atau lingkungan dekat)
Reiss membedakan dua macam kontrol yaitu :
1) Personal control adalah kemampuan seseorang untuk
menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar
norma-norma yang berlaku di masyarakat (the ability of the individual to
refrain from meeting needs in ways which conflict with the norm and rules of
the community).
2) Socail control atau kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok
sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakn norma-norma atau
peraturan menjadi efektif (the ability of the social groups or institutions to
make norm or rules effective.
Pendekatan
lain di gunakan oleh walter reckles (1961)
dengan bantuan simon dinitz yang mengemukakan containment theory, teori ini,
menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil akibat dari interelisasi antara
dua bentuk kontrol , yaitu kontrol aksternal atau social control dan kontrol
internal atau internal control. Ivan
f.Nye (1958) telah mengemukakan teori social control tidak sebagai suatu
penjelasan umum tentang kejahatan tetapi
merupakan penjelasan bersifat kasuistas. Nye pada hakikatnya tidak menolak
adanya unsusr-unsur psikologis, di samping ada unsur subkultur dalam proses
terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuensi menurut nye disebabkan
gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif.
Di akui oleh Nye, terdapat empat tipe kontrol sosial
sebagai berikut :
1. Direct control which cames from discipline,
restrictions, punishment
2. Internalized control which is the inner control from
conscience
3. Indirect control which is exerted by not wanting to hurt
or go against the wishes of parent or other individual with whon the person
identifies
4. The availability of alternative means to goals and
values.
Menurut reckless , containment internal dan eksternal
memilki posisi netral , berada di antara presi sosial dan tarikan sosial lingkungan dan dorongan dari
dalm individu. Posisi individu dalam dan antara faktor-faktor tersebut di atas
adalah sebagai berikut :











Push-factor
D. TEORI LABELING
banyak pakar kriminologi menghubungkan teori labeling
dengan buku frank tannenbaum (1938) crime and the community. Menurut
tannenbaum, kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil konplik antara
kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, dimana terdapat dua definisi yang
bertentangan dengan tingkah laku yang layak.
DUA MACAM LABELING
Pendekatan teori labeling dapat di bedakan dalam dua
bagian :
1. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang
memperoleh cap atau lebel.
2. Efek labeling terhadap penyimpangan tinglah laku
berikutnya.
Persoalan
labeling kedua (efek lebeling) adalah bagaimana labeling mempengaruhi seseorang
yang terkena label/cap. Persoalan ini memeperlakukan lebeling sebagai variabel
yang independen atau variabel bebas /mempengaruhi. Dalam kaitan ini, terdapat
dua proses bagaimana labeling mempengaruhi seseorang yang terkena cap/lebel
untuk melakukan penyimpangan tingkah lakunya.
1) Cap/label tersebut menarik perhatian pengamat dan
mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya dan kemudian seterusnya
cap/lebel itu di berikan padanya oleh si pengamat.
2) Label atau cap tersebut sudah di adopsi oleh seseorang
dan mempengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagai mana
cap/lebel itu di berikan padanya oleh si pengamat.
Salah satu dari kedua proses di atas dapat mempersebar penyimpanag
tingkah laku (kejahatan) dan membentuk karier kriminal seseorang.
Schrag (1971) menyimpulkan asumsi dasar teori labeling
sebagai berikut :
1. Tidak ada satu perbuatan terjadi dengan sendirinya
bersifat kriminal.
2. Rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat di
sesuaikan dengan kepentingan mereka yang mempunyai kekuasaan.
3. Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar UU,
melainkan ia di tetapkan demikian oleh penguasa.
4. Sehubungan dengan kenyataan bahwa setiap orang dapat
berbuat tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat di kelompokan menjadi dua
bagian : kelompok kriminal dan nonkriminal.
5. Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses lebeling.
6. Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem
peralihan pidana adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari
kareteristik pelanggarannya.
7. Usai, tingkat sosial-ekonomi, dan ras merupakan
kareteristik semua pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan
keputusan dalam sistem peradilan pidana.
8. Sistem peradilan pidana di bentuk berdasarkan perspektif
kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang
di pandang sebagai penjahat.
9. Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan
identitas dengan citra sebagai deviant dan subkultur serta menghasilkan
rejection of the rejector.
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah primary
deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan pada pembuatan
penyimpangan tingkah laku awal ;sedangnkan secondary deviance adalah berkaiatan
dengan reorganisasi psikologi dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari
penangkapan dan cap sebagai penjahat.
Sekali cap atau status ini dilekatkan pada seseorang,
maka sangat sulit orang yang bersangkutan untuk melanjutkan melepaskan diri
dari cap yang telah di berikan masyarakat terhadap dirinya.
Kritik terhadap teori ini adalah sebagai berikut :
1. Teori terlalu bersifat deterministik dan menolak
pertanggung jawaban individual. Penjahat bukanlah robot yang pasif dari reaksi
masyarakat.
2. Masih ada penyimpangan tingkah laku lainya yang sudah
secara interistik merupakan kejahatan, seperti : memperkosa seorang peremouan,
membunuh dan lain-lain, sehingga teori ini tidak berlaku lagi semua jenis
kejahatan.
3. Jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan persoalan
reaksi masyarakat, maka bagaiamnapun dengan bentuk penyimpangan tinglah laku
yang tidak tampak atau tidak terungkap/tertangkap pelakunya.
4. Teori ini mengabaikan
faktor penyebab awal dari munculnya penyimpangan tingkah laku.
5. Teori labeling selalu beranggapan bahwa setiap orang
melakukan kejahatan dan tampak argumentasinnya adalah, cap di lekatkan secara
random. Kenyataan bahwa haya kejahatan yang sangat serius yang memperoleh
reaksi masyarakat atau cap.
E. TEORI PARADIGMA STUDI KEJAHATAN
Simence dan Lee mengetengahkan
tiga perspektif tentang hubungan hukum dan organisasi kemasyarakatan di satu
pihak dan tiga paradigma tentang studi kejahatan. Perspekti dimaksud adalah
perspektif ’consesus’, ’pluralist’ dan perspektif ’conflict’ atau di pandang
sebagai suatu keseimbangan yang bergerak
dari konservatif menuju keliberal dan berakhir menuju kepada perspektif
radikal. Sementara itu ketiga paradigma adalah paradigma positicve,
interaksionis, dan paradigma sosialis. Ketiga perspektif dan paradigma di
maksud memilki kaitan erat satu sama lain sehingga secara skematis dapat di
gambarkan sebagai berikut.















Pada
sekitar tahun 1960an pakar-pakar kriminologi mulai kembali mempersoalkan
hubungan antara hukum dan masyarat. Sekalian perhatian utama tetap pada manusia
penjahat akan tetapi pada dekade terakhir banyak pakar kriminologi mengakui
peranan hukum sangat penting dalam menentukan
sifat dan karekteristik suatu kejahatan.
Perspektif konensus dari nilai-nilai di tengah masyarat
AS. Prinsip-prinsip yang di anut oleh perspektif ini adalah sebagai berikut:
1. hukum merupakan pencerminan dari masyarakat banyak.
2. hukum melayani orang tanpa terkecuali atau secara
negatif dapat di katakan bahwa hukum tidak dapat membedakan seseorang atas
dasar ras agama dan suku bangsa.
3. Mereka yang melanggar mencerminkan keunikan-keunikan
atau merupakan kelompok yang unik.
Prinsip-prinsip
yang di anut oleh perspektif konsensus ini
mendapatkan dampak terhadap paradigma positivis dari studi kejahatan,
sebagai sautu paradigma kejahatan, positivisme menekankan pada determinisme
dimana tingkah laku seseorang adalah akibat dari sebab-akibat antara individu
yang bersangkutan dengan lingkungannya. Penganut paradigma ini secara tugas
memisahkan secara mutlak antara ilmuwan (yang akan menelitinya) dengan objek
yang akan di teliti sehingga gejala yang di amati di luar jangkauan
subjektivitas si peneliti. Terhadap pandangan tersebut banyak kritik yang di
lontarkan antara lain mengenai objektivitas tersebut di atas.
Prinsip-prinsip paradigma
ini adalah sebagai berikut :
1) Tingkah laku manusia merupakan hasil dari hukum sebab
akibat.
2) Hubungan sebab akibat tersebut dapat di ungkapkan
melalui metode-metode yang bersifat ilmiah.
3) Penjahat mewakili hubungan sebab-akibat yang unik.
4) Jika hubungan sebab akibat ini dapat diketahui (melalui
metode ilmiah) maka tingkah laku kriminal dapat diprediksi dan dapat di awasi
dan penjahat itu dapatdi bina.
Berdasarkan
prinsip-prinsip di atas, kaitan antara perspektif konsensus tentang hubungan
hukum dan organisasi kemasyarakatan dengan paradigma studi kejahatan terletak
pada pengakuan keduannya tentang keunikan hubungan sebab akibat yang menghasilkan
keunikan dalam tingkah laku seseorang.
Hukum menurut model pluralis tumbuh dalam masyarakat bukan karena adanya
kesepakatan-kesepakatan di antara-anatara anggota-anggota, melainkan justru
karena tidak adanya kesepakatan di
anatara anggota dalam masyarakat.
Prinsip yang di anut oleh model pluralis adalah sebagi
berikut :
1) Masyarakat terdiri dari berbagai ragam kelompok.
2) Dalam kelompok-kelompok ini terjadilah perbedaan, bahkan
pertentangan mengenai apa yang di sebut benar dan salah.
3) Terdapat kesepakatan tentang mekanisme penyelesaian
sengketa.
4) Sistem hukum memilki sifat bebas nilai.
5) Sistem hukum berpihak pada kesejahteraan terbesar
masyarakat.
Pengaruh di maksud kemudian menumbuhkan pentingnya peran
“labeling” pada penganut paradigma interaksionos.
Prinsip-prinsip yang di anut oleh paradigma interaksionis
adalah sebagai berikut:
1) Kejahatan bukanlah terletak pada tingkah lakunya, melainkan
pada reaksi yang menucul terhadapnya.
2) Reaksi terhadap penjahat akan menghasilkan cap sebagai
penjahat.
3) Seseorang yang di cap sebagai penjahat dengan sendirinya
akan termasuk kelompok penjahat.
4) Seseorang di beri cap sebagi penjahat melalui suatu
proses interaksi
5) Terdapat kecenderungan bagi seseorang yang di cap
sebagai penjahat akan mengidentifikasikan dirinya sebagai penjahat.
Perspektif konflik beranjak dari asumsi-asumsi sebagai
berikut :
1) Bahwa pada setiap tingkatan, masyarakat cenderung
mengalami perubahan.
2) Pada setiap kesempatan atau penampilan, dalam masyarakat
sering terjadi konflik.
3) Setiap unsur masyarakat mendukung kearah
perubahan-perubahan.
4) Kehidupan masyarakat di tandai pula oleh adanya
“paksaan” antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.
Berangkat dari asumsi tersebut di atas, perspektif
konflik menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang
berbeda-beda.
2) Terjadi perbedaan penilaian dalam kelompok-kelompok
tersebut mengenai baik dan buruk.
3) Konflik antara kelompok-kelompok tersebut mencerminkan
kekuasaan politik.
4) Hukum di susun untuk kepentingan mereka yang memilki
kekuasaan politik.
5) Kepentingan utama dari pemegang kekuasaan politik untuk
menegaskan hukum adalah menjaga dan memelihara kekuasaanya.
Jika
kita lihat prinsip-prinsip yang di anut perspektif konflik dan pluralis
tampaknya ada persamaan. Persamaan pendapat terletak pada pengakuan keduanya
tentang pembagian kelompok masyarakat dengan berbagai ragam padangan tentang
nilai baik dan buruk. Namun keduanya berbeda dalam hal bagaimana perselisihan
atau pertentangan tersebut harus di selesaikan. Menurut model pluralis, konflik
kepentingan di selesaikan melalui kesepakatan-kesepakatan ; sedangkan model
konflik tidak yakin bahwa konflik
kepentingan dapat di selesaikan, bahkan model konflik menuduh bahwa
sesungguhnya tidak ada penyelesaian, melainkan yang ada hanyalah “paksaan” dari
pemegang kekuasaan politik kepada kelompok yang tidak berbeda.
Pengaruh model konflik ini terhadapa paradigma studi
kejahatan tampak dari prinsip-prinsip yang di anutnya sebagai berikut :
1) Negara kapitalis muncul untuk memelihara kepentingan
pemegang dominasi ekonomi AS.
2) Kepentingan utama dari kaum kapitalis adalah memelihara
orde ekonomi dan tertib sosial yang mendukung kekuasaanya.
3) Tujuan utama dari hukum pidana adalah menjaga tertib
ekonomi dan tertib masyarakat yang menguntungkan kepada pemegang kekuasaan
melalui kriminalisasi tingkah laku yang mengancam tertib di atas .
4) Tinglah laku yang mengancam tertib-tertib di atas
diawasi melalui pengawasan yang di lakukan oleh mereka yang menjadi alat pemegang
kekuasaan politik.
5) Negara kapitalis menghendaki agar kelas masyarakat yang
tidak di untungkan (masyarakat ekonomi lemah) di awasi melalui kekerasan atau
paksaan yang tercermin dalam sistem hukumnya.
6) Masalah kejahatan di negara kapitalis hanya dapat di
selesaikan melalui pembentukan suatu masyarakat baru melandaskan
prinsip-prinsip sosialis.
Ø Pemakaian teori assosiasi diferensial (differential
association) dari sutherland adalah di dasarkan atas pertimbangan bahwa sampai
saat ini sangat sulit untuk mempertahankan atau memakai teori yang mengatakan
bahwa kejahatan itu di wariskan dari leluhur-leluhur. Bahkan kecenderungan
teori tentang kejahatan pada dekade ke-20 ini , adalah kejahatan merupakan
hasil interaksi antara individu dengan
lingkungan.
Ø Pemakaian teori anomi dalam tulisan ini di landaskan
kepada kenyataan bahwa kejahatan di indonesia, bahkan di negara manapun tidak
dapat dilepaskan dari struktur kehidupan masyarakatnya. Sekalipun demikian diakui
latar belakang sosiologi budaya lahirnya
teori di maksud berbeda secara mendasar dengan sosial budaya abad ini.
Ø Pemakaian teori kontrol sosial dalam tulisan ini adalah
dilandaskan kepada kenyataan bahwa kultur masyarakat indonesia masih menjunjung
tinggi norma kesusilaan dan tata krama adat ketimuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar