Selamat Datang di Blogger Ferdy Rizky Adilya, S.H., Dalam blogger ini mungkin terdapat tulisan yang memiliki hak cipta di dalamnya, Harap menuliskan sumbernya apabila akan mengutip dalam tulisan dibawah ini, Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.

Penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

--J.E. Sahetapy--

Rabu, 07 Mei 2014

Sejarah Perkembangan Penjatuhan Hukuman


        Penjatuhan pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana, sebelum negara terbentuk mengalami proses yang cukup panjang. Penjatuhan pidana yang dimaksud terdiri dari tiga tahap yaitu[1]:
a.       Dengan cara membalas atau lex talionis atau biasa disebut asas pembalasan. Jika terjadi sesuatu tindak pidana, maka penyelesaiannya adalah dengan melakukan cara yang sama. Misalnya, jika si A menusuk si B, maka si B atau keluarga si B menusuk kembali si A. Cara penyelesaiannya yang demikian sering disebut dengan ungkapan oog om oog en tand om tand atau eye for eye and tooth for tooth atau life for life (mata dibayar mata, gigi dibayar gigi atau nyawa dibayar nyawa), atau hutang pati nyaur pati, hutang lara nyaur lara yang berarti: si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. Cara penyelesaian yang demikian selain sulit menyeimbangkan bentuk yang akan dilakukan juga kurang manusiawi dan bisa menimbulkan kekacauan di masyarakat sehingga pembalasan kemungkinan akan berlanjut. Seiring dengan perkembangan tingkat peradaban manusia, maka penyelesaian tindak pidana dengan cara membalas dengan apa yang dilakukan si pelaku tindak pidana pada mulanya dirasa kurang mendukung terciptanya masyarakat yang tertib. Oleh karena itu, cara tersebut diganti dengan cara lain, yaitu memberikan ganti rugi.
b.      Dengan cara memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarga korban. Jika terjadi sesuatu tindak pidana, penyelesaiannya tidak lagi dengan cara membalas, akan tetapi dengan memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarga korban dalam bentuk uang atau benda tertentu. Ganti rugi tersebut atas kesepakatan pihak pelaku dan korban atau keluarga korban. Penyelesaian suatu tindak pidana dengan memberikan ganti rugi cenderung menimbulkan masalah-masalah yang tidak diharapkan. Karena untuk menentukan ganti rugi tersebut bukan hal yang mudah, misalnya saja kalau yang dibunuh itu orang yang bisa diharapkan dimasa depan bagaimana menentukan ganti ruginya apakah sama dengan orang yang masa depannya tidak begitu cerah? Atau kalau tindak pidana itu menyangkut pencurian, dan barang yang dicuri itu adalah barang yang mempunyai nilai sejarah tertentu, bagaimana menentukan ganti ruginya? Cara pemberian ganti rugi kemudian tidak dipakai lagi karena negara sudah terbentuk dan melalui alat-alat kelengkapan negara seperti polisi, jaksa, dan hakim diberi kewenangan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana.
c.       Setelah negara terbentuk, hukum pidana telah tertulis dan aparat pemerintah, seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sudah terbentuk, maka penyelesaian suatu perkara pidana sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.  Polisi, jaksa dan hakim masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang diatur didalam hukum acara apabila menyelesaikan suatu perkara pidana. Sebagai contoh: di negara kita jika tejadi tindak pidana maka polisi melakukan penyelidikan kemudian dilanjutkan dengan penyidikan, kemudian diadakan Berita Acara Pemeriksaan pada tersangka dan apabila sudah lengkap maka berkas tersebut dan tersangka diserahkan kepada kejaksaan. Apabila pihak kejaksaan merasa berkas sudah lengkap, maka pihak kejaksaan memohon ke pengadilan negeri untuk diperiksa di persidangan. Kemudian Pengadilan Negeri akan menetapkan sidang pemeriksaan. Dalam rangka membela kepentingan tersangka atau terdakwa dari sisi hukum, maka mereka berhak didampingi advokat.


[1] Ibid., hlm.35-36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar