Selamat Datang di Blogger Ferdy Rizky Adilya, S.H., Dalam blogger ini mungkin terdapat tulisan yang memiliki hak cipta di dalamnya, Harap menuliskan sumbernya apabila akan mengutip dalam tulisan dibawah ini, Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.

Penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

--J.E. Sahetapy--

Sabtu, 19 Oktober 2013

Dedication for Dr. Widiada Gunakaya SA,S.H.,M.H : ASAS, KAIDAH, LEMBAGA DAN PROSES DALAM HUKUM HAK ASASI MANUSIA


   BAB I
PRINSIP-PRINSIP/ASAS-ASAS HUKUM HAM

A.                Konsep Dasar dan Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak –hak yang dimiliki manusia semata-mata karena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.[1] Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat Universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai mahluk insani.
Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh kebelakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. [2]
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”, Jhon Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.[3] Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (sosial contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Lock, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat dinegara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.
Perkembangan pemikiran hak asasi manusia bermula saat Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis mengkategorikan gernerasi-generasi dalam perkembangan hak asasi manusia salah satunya adalah generasi pertama hak asasi manusia atau sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan dimana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat bergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak dan kebebasan tersebut.  Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. [4] Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud dengan positif disisni adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhakan peran aktif negara. Keterlibatan negara disini harus menunjukan tanda plus (positif), tidak boleh menunjukan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokan kedalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut.
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntunan gigih negara-negara berkembang atau dunia Ketiga atas tatanan Internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut: (i) hak atas bangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu.[5] Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan – tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.
Setelah lahir beberapa generasi tersebut maka lahir pula Keberkaitan (indivisibility) dan Kesalingtergantungan (Interdependence), Universalisme dan relativisme budaya, Teori Universalis (Universalist Theory) Hak asasi manusia, Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory), perpaduan Universalisme dengan Pluralisme, dan Hak perempuan sebagai hak asasi manusia.
B.                 Tonggak-Tonggak Sejarah Hak Asasi Manusia Kontemporer
1.      Sebelum Perang Dunia II
Doktrin perlindungan negara terhadap orang asing, intervensi kemanusiaan, serta tonggak penting lainnya seperti akan dielaborasi lebih jauh dalam sub-sub bahasan dibawah ini:
a.       Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional
Dalam hukum Internasional ketika itu dikenal dengan doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” atau “state responsibility for injury to alliens”. Berdasarkan doktrin itu orang-orang asing berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan. Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang asing mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, dan negara tersebut tidak mengambil tindakan apapun atas pelanggaran itu.
b.      Intervensi Kemanusiaan
Demikian posisi individu dalam hukum Internasional tradisional, yang sering ditandai menurut kebangsaanya. Berdasarkan dalil itu, negara-negara lain tidak mempunyai hak yang sah untuk melakukan intervensi dengan alasan melindungi warga negaranya, seandainnya mereka diperlakukan dengan semena-mena. Suatu kekecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut dengan doktrin “intervensi kemanusiaan”, yang memberikan hak yang sah untuk melakukan intervensi. Berdasarkan hak ini, negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduknya yang berada dalam suatu negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka sedemikian rupa sehingga “melanggar hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat manusia”.
c.       Penghapusan Perbudakan
Perkembangan kemanusiaan pada hukum Internasional sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang paling menonjol diantaranya adalah penghapusan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik bagi negara-negara Eropa dibandingkan masa sebelumnya tetapi semua sadar, karena gerakan penghapusan perbudakan itu juga dilandasi oleh motif kepedulian kemanusiaan yang besar. Praktek perbudakan mula-mula dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Perancis, namun selang 50 tahun kemudian, akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”.
d.      Palang Merah Internasional
Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863), dan ikhtiar organisasi itu dalam memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa.Singkatnya organisasi internasional ini telah berjasa melahirkan apa yang sekarang kita kenal dengan hukum humaniter internasional (internasional humanitarian law) .
e.       Liga Bangsa-Bangsa
Segera setelah berakhirnya Perang Dunia I, masyarakat internasional membentuk Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles. Selain membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB), perjanjian Versailles juga melahirkan apa yang dikenal sekarang dengan organisasi Perburuhan Internasional (Internasional Labour Organization). Dalam LBB Negara-negara anggotanya diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan seperti menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan perdagangan perempuan dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil terhadap penduduk pribumi dan wilayah jajahan.
2.      Setelah Perang Dunia II
Doktrin dan Kelembagaan hukum internasional yang dipaparkan di atas telah ikut mendorong perubahan yang radikal dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status individu sebagai subjek dalam hukum internasionala. Individu tidak lagi dipandang sebagai objek hukum internasional, melainkan dipandang sebagai pemegang hak dan kewajiban. Dengan Status ini maka individu dapat berhadapan dengan negaranya sendiri dihadapan Lembaga-Lembaga Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
a.       Hak Asasi Manusia Internasional Modern
Hukum hak asasi manusia internasional modern menempatkan individu sebagai subjeknya. Individu ditempatkan sebagai pemegang hak (right-holders) yang dijamin secara internasional, semata-mata karena ia adalah individu, bukan karena alasan kebangsaanya dari suatu negara. Justru sebaliknya, status negara dalam hukum yang baru ini ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-holders). Jadi relasi antara pemegang hak dan kewajiban itulah yang menjadi pokok perhatian hukum internasional yang baru ini.
b.      Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perkembangan hukum hak asasi manusia yang dipaparkan diatas bermula dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah traktat multilateral yang mengikat secara hukum semua negara anggota PBB, Piagam itu memuat dengan eksplisit pasal-pasal mengenai perlindungan hak asasi manusia.
c.       The Internasional Bill of Human Rights
Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan interpretasi resmi terhadap Piagam PBB, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang terdaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai “standar pencapaian bersama”. Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
C.                Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional dan Nasional
1.      Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional.
Beberapa prinsip-prinsip telah menjiwai hak-hak asasi manusia internasional. Prinsip-prinsip terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu;
a.       Prinsip Kesetaraan
Hal yang sangat fundamental dari hak asasi manusia kontemporer adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, dimana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, dimana pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tertapi diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan. Karena itulah penting mengambil langkah selanjutnya guna mencapain kesetaraan. Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili. Misalnya, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan berbagai kebijakan yang membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang non adat lainya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan.
b.      Prinsip Diskriminasi
Pelanggaran terhadap diskriminasi adalah salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuakan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Apakah diskriminasi itu? Pada efeknya, diskriminasi adalah kesengajaaan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/serata.
c.       Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak Tertentu
Menurut hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan.
2.      Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia Nasional.[6]
a.       Pasal 2 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjungjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
b.      Pasal 3 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
1)      Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup   bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
2)      Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
3)      Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
c.       Pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
d.      Pasal 5 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
1)      Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan hukum.
2)      Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
3)      Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhusussannya.
e.       Pasal 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
1)      Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2)      Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
f.       Pasal 7 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
1)      Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.
2)      Ketentuan Hukum Internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
g.      Pasal 8 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.












BAB II
KAIDAH HUKUM HAM

A.                Deklarasi Universal Hak Asasi Manusi (DUHAM)
Instrumen internasional yang ada saat ini diawali dengan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dan kerja Komisi Hak Asasi Manusia PBB (suatu komisi fungsional dibawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB) dalam merumuskan tabulasi hak dan kebebasan dasar manusia yang dapat diterima.
Pada awalnya tanggungjawab Komisi Hak Asasi Manusia meliputi tiga elemen yaitu suatu pernyataan hak dan kebebasan, suatu daftar hak dan kebebasan yang mengikat secara hukum, dan yang terakhir, suatu mekanisme untuk membuat hak-hak tersebut dapat ditegakkan sehingga memberi manfaat langsung bagi seluruh umat manusia. Ini semualah yang menjadi peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional, suatu cetak biru konstitusional untuk tata dunia baru yang menentukan hak dan kebebasan yang disepakati dan dapat ditegakkan secara universal.
Deklarasi Universal Hak Asasi Mansia (DUHAM) adalah elemen pertama dari peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional, yaitu suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental.
B.                 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP)
Pada intinya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) memberikan  dampak hukum kepada Pasal 3-21 DUHAM. Semua hak dalam Kovenan merupakan hak untuk semua orang. Namun demikian ada beberapa batasan-batas praktis, misalnya, anak-anak yang masih belia, pada umumnya tidak dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan umum dan mereka mungkin mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan pendapat dan beragama, karena masih berada dibawah pengendalian orangtua. Namun demikian, sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak,[7] anak-anak memiliki hak yang sama dengan orang dewasa.
C.                Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(KIHESB)
Sebagaimana telah dicatat sebelumnya, hak dan kebebasan yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) merupakan hak-hak dan kebebasan yang termuat dibagian akhir DUHAM. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya diperlakukan secara berbeda dengan hak Sipil dan Politik. Dalam banyak hal perbedaan itu dibuat-buat kaena semua hak bersifat saling tergantungan dan tidak terbagi-bagi. Tidaklah mungkin membuat perbedaan antara sumber-sumber hak dan kebebasan yang berbeda. Pasal 2 adalah ketentuan yang paling penting untuk memahami sifat hak ekonomi, sosial dan budaya. Patut dicatat bahwa “dipandang dari segi sistem politik dan ekonomi, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai digambarkan sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan keinginan akan sistem sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran, terencana yang terpusat atau bebas (laissez-faire) atau pendekatan tertentu. Hak-hak yang diakui didalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (KIHESB) dapat diwujudkan dalam konteks sistem ekonomi dan politik yang beragam dan luas, asalkan sifat saling tergantungan dan tidak terbagi-baginya kedua perangkat hak asasi manusia tersebut,..diakui dan dicerminkan dalam sistem yang bersangkutan.[8]
D.                Konvensi tentang Hak Anak
Konvensi tentang anak adalah Instrumen paling komprehensif yang berlaku berdasarkan rezim hak asasi manusia internasional atau regional manapun. Barangkali inilah yang menyebabkan banyak negara yang tertarik untuk mengesahkannya.
E.                 Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan
Piagam PBB menyatakan secara jelas bahwa perempuan dan laki-laki harus menikmati kesetaraan hak. Kenyataanya tidaklah demikian. Nondiskriminasi dalam penikmatan hak dan kebebasan adalah hal yang mendasar bagi rezim hak asasi manusia modern. Kebanyakan instrumen mengandung ketentuan nondiskriminasi. Semua menyebutkan larangan diskriminasi yang didasarkan atas jender. Hal ini merupakan tema yang berulang kali disebut dan menekan berlanjutnya kesenjangan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam penikmatan perempuan dan perempuan berhak atas semua hak dan kebebasan, sehingga hal yang diperlukan bukanlah instrumen baru tentang hak perempuan, melainkan instrumen baru tentang hak perempuan, melainkan instrumen yang bertujuan memastikan bahwa perempuan berhak untuk menikmati hak tanpa diskriminasi. Dalam hal ini situasi perempuan dan anak sangat berbeda.
F.                 Konvensi Menentang Penyiksaan
Pasal 1 konvensi  menetapkan lingkup perlakuan yang dicakup oleh konvensi yaitu “Untuk maksud konvensi ini, istilah “penyiksaan” berarti tindak apapun yang dengan tindakan itu rasa sakit atau penderitaan yang berat, fisik ataupun mental, secara sengaja dilakukan terhadap seseoranguntuk maksud seperti mendapatkan dari orang tersebut atau orang ketiga, informasi atau pengakuan, menghukumnya atas tindak yang dilakukan atau disangka dilakukan olehnya atau untuk mengintimidasi atau memaksanya atau orang ketiga, apabila rasa sakit atau penderitaan demikian dilakukan oleh atau atas hasutan atau atas persetujuan atau persetujuan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Penyiksaan tidak mencangkup rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, inheren dalam, atau yang terjadi sebagai akibat sanksi hukum.
G.                Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasional
Konvensi menetapkan lingkup diskriminasi dalam Pasal 1 ayat (1) adalah “Dalam Konvensi ini, istilah “diskriminasi rasial” berarti setiap perbedaan, pengucilan, pembatasan atau prefensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan atau dikuranginya pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak dan kebebasan fundamental manusia, atas dasar kesetaraan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan publik lainya.[9]
H.                Prinsip Konvensi-Konvensi Internasional Labour Organisation yang
Pokok
Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organisation (ILO) dibentuk pada 1919 berdasarkan perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I. Liga Bangsa-Bangsa sendiri menetapkan kewajiban pada negara anggota untuk “memastikan dan mempertahankan kewajiban pada negara anggota untuk “memastikan dan mempertahankan kondisi kerja yang adil dan manusiawi bagi laki-laki, perempuan dan anak.”[10]
I.                   TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998
Diawali dengan kesadaran sebagai anggota PBB yang mempunyai tanggung jawab menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta menjamin dan menghormati hak asasi orang lain juga sebagai suatu kewajiban. Oleh karena itu, hak asasi dan kewajiban manusia terpadu dan melekat pada diri manusia sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa dan warga negara, serta anggota masyarakat bangsa-bangsa. Untuk tujuan tersebut, negara harus berada pada posisi “lender of the last resort”.[11]
J.                  UUD 1945
Dalam UUD 1945, terdapat 11 pasal tentang HAM, mulai dari pasal 28, 28A sampai dengan pasal 28J. Mulai dari hak berkumpul/berserikat, mempertahankan hidup, berkeluarga dan perlindungan dari kekerasan, mengembangkan diri jaminan dan kepastian hukum, bebas beragama, bebas berkomunikasi/memperoleh informasi, perlindungan diri, dan keluarga dan martabat serta harta bendanya, kesejahteraan lahir batin/persamaan keadilan/hak milik pribadi, hak hidup dan bebas dari perbudakan, serta tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut/penghormatan identitas budaya. Dalam pasal terakhir 28J, “Wajib menghormati hak asasi orang lain serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang.”[12]
K.                Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
Spirit hukum yang menjadi dasar termuat di dalam konsederan, terutama dalam menimbang. Pertimbangan utama yang dapat dicatat merupakan landasan filosofis “manusia mahluk ciptaan Tuhan...pengelola/memelihara alam...oleh-Nya dianugerahi HAM untuk menjamin harkat, martabat, serta lingkungannya”. Pengakuan HAM “hak kodrati melekat pada diri manusia universal dan langgeng, karenanya harus dihormati, dilindungi, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi...”serta”sebagai anggota PBB mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan melaksanakan Duham...”Dalam UU No.39/1999 tentang HAM, Bab I Ketentuan Umum, dalam Pasal 1 (1) menjelaskan makna HAM adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugreh-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Pasal 1 (2): “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksanannya dan tegaknya hak asasi manusia”, Pasal 1 (7) mengenai KOMNAS HAM. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri atas 106 pasal, secara rinci dibagi-bagi menjadi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, pembatasan, dan larangan.[13]
L.                 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM terdiri atas 51 pasal, yang antara lain pasal 18, bagian keempat, penyidikan, ayat (1) : penyidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak asasi Manusia; (2) Komisi Nasional Hak asasi Manusia dalam melaksanakan penyelidikan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.[14]








BAB III
LEMBAGA PENEGAK HUKUM HAM

A.                Badan Pemantau Perserikatan Bangsa-Bangsa Berdasarkan Piagam
(DEWAN HAK ASASI MANUSIA)
Dalam Piagam PBB, terdapat mekanisme pemantauan yang bersifat lebih umum, yaitu mekanisme yang dibentuk untuk bekerja didalam bidang yang luas dari hukum internasional publik dan tidak hanya hukum hak asasi manusia internasional. Dewan Hak asasi manusia adalah badan PBB yang baru dibentuk. Badan ini dibentuk dengan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaharuan untuk memperkuat kegiatan hak asasi manusia PBB. Dewan ini membuka sidang pertamanya pada 15 Juni 2006. Pada saat yang sama Komisi Hak Asasi Manusia badan yang dibentuk pada tahun 1946 oleh Dewan Ekonomi dan Sosial sesuai dengan pasal 8 Piagam PBB dibubarkan. Karena dewan tersebut dalam banyak hal dibentuk menurut model komisi hak asasi manusia maka diperlukan rekapitulalisasi sejarah secara singkat.
B.                 Komisi tentang Status Perempuan
Komisi tentang Status Perempuan dibentuk oleh Dewan Ekonomi dan Sosial pada 1946. Komisi ini merupakan badan politik dengan 45 anggota yang dipilih sebagai wakil dari pemerintahan mereka.Komisi tersebut bertemu dalam sidang tahunan, berlangsung hanya delapan hari, dan komisi itu tidak mengembangkan tindakan dan mekanisme seperti yang dilakukan oleh Komisi hak asasi manusia. Komisi tersebut bertemu di New York, dan bukan di Jenewa dimana kebanyakan kegiatan hak asasi manusia PBB dilaksanakan.
C.                 Badan Pemantau PBB Berdasarkan Perjanjian Internasional (Komite
Hak Asasi Manusia)
Bagian IV KHISP, Pasal 28-Pasal 45 mengatur pembentukan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committe). Komite ini mempunyai 18 Anggota yang didominasi dan dipilih oleh negara-negara (Pasal 29 dan Pasal 30) tetapi bekerja dalam kapasistas pribadi mereka dan bukan sebagai wakil pemerintah (Pasal 28 ayat (3). Anggota-anggota tersebut haruslah “orang-orang yang berkarakter moral yang tinggi dan mempunyai kompetensi di bidang hak asasi manusia yang diakui” menurut Pasal 28 ayat (2).
D.                Komite atas Penghapusan Diskriminasi Rasial
Mekanisme pelaksanaan menurut Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial didasarkan pada Bagaian II Konvensi tersebut yang membahas laporan komunikasi antar negara dan komunikasi individual.
E.                 Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
Komite dibentuk berdasarkan pasal 17 CEDAW dan terdiri dari 23 ahli dengan kedudukan moral tinggi dan kompeten. Menurut pasal 17 ayat (1) CEDAW para anggota dipilih oleh Negara-Negara pihak, tetapi bertindak dalam kapasitas pribadi. Pemilihan para ahli harus mempertimbangkan pembagian geografis yang adil dan terwakilinya berbagai bentuk peradaban serta sistem-sistem hukum utama.
F.                 Komisi Menentang Penyiksaan
Komite ini dibentuk sesuai dengan pasal 17, dan terdiri dari 10 ahli “dengan kedudukan moral tinggi dan kemampuan yang diakui dalam bidang hak asasi manusia” yang menjalankan tugas dalam kapasitas pribadi mereka.
G.                Komite Tentang Anak
Mekanisme pelaksanaan Konvensi tentang Hak Anak disebut dalam Bagian II, Pasal 43, dan dipertahankan oleh Komite tentang Hak Anak (Commitee on the Right of Childs). Komite itu terdiri dari sepuluh ahli”dengan kedudukan moral tinggi dan kompensasi yang diakui dalam bidang yang diliput oelh Konvensi ini”, lihat Pasal 42 ayat (2). Meskipun para anggota Komite dipilih oleh Negara-Negara Pihak, mereka melakukan tugas dalam kapasitas pribadi mereka yang pemilihannya didasarkan atas pertimbangan pembagian geografis yang adil dan pada sistem-sistem hukum utama.
H.                 Mahkamah Konstitusi
Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan yang dalam istrumen internasional dirumuskan sebagai kewajiban to protect, to implement or enforce and to fulfull human right). Bagaimana hak asasi manusia ditegakkan dihadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan, apa lagi yang bersalah-guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting pula untuk memeriksa mekanisme penyampaian keluhan public (public complaints procedure), peradilan administrasi/tata usaha negara, [15] peradilan dibawah Mahkamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia,[16] Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),[17] maupun pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).[18]
Pada dasarnya, secara strict wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap konstitusi merupakan uji konstitusionalitas sehingga dikenal sebagai constitutional review. Dalam Pelaksanaanya di Indonesia, dan berbagai negara, uji konstitusionalitas itu disadarkan kepada suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-undang yang diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional pemohon constitutional review. [19] Rumusan ini perlu sedikit dijelaskan. Pertama, dirumuskan sebagai “hak dan atau wewenang”. Wewenang konstitusional lebih terkait dengan kewenangan lembaga negara yang berhak pula untuk memohon constitutional review terhadap undang-undang dinilai bertentangan dengan konstitusi (dalam hal ini menyangkut kewenangan lembaga negara pemohon pengujian). [20] Kedua, hak konstitusional lebih dekat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara.
I.                    KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM)
Komnas HAM pada awalnya dibentuk lewat Keputusan Presiden No.50 Tahun 1993 dengan tugas antara lain “membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia guna mendukung terwujudnya pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya.” Kemudian, Keppres tersebut diintegrasikan ke adalam UU No.39/1999.
Pasal 89 Sub (3) terkait dengan fungsi Komnas HAM. Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
1.      Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
2.      Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
3.      Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun  pihak yang diadukan untuk untuk dimintai dan didengar keterangannya;
4.      Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
5.      Peninjauan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
6.      Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan;
7.      Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan , bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan ketua pengadilan; dan
8.      Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan  terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh Hakim kepada para pihak.[21]
Selain kewenangan yang diatur dalam UU HAM, Komnas HAM juga memiliki kewenangan yang diatur oleh UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Dalam UU Pengadilan HAM, Komnas HAM berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melaksanakan kewenangannya itu, Komnas HAM dapat membentuk tim ad-hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat.[22]
Pelaksanaan kewenangan dan fungsi dari Komnas HAM tentu harus didukung oleh struktur internaln. Pada dasarnya, ada dua kelengkapan di Komnas HAM yang terdiri dari Sidang Paripurna dan Subkomisi. Di samping itu, Komnas HAM mempunyai Sekertariat Jendral sebagai unsur pelayan. Pada periode keanggotaan 2007-2012, Subkomisi Komnas HAM dibagi berdasarkan fungsi Komnas HAM sesuai dengan undang-undang, yaitu[23]:
1.      Subkomisi Pengkajian dan Penelitian;
2.      Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan;
3.      Subkomisi Pemantauan; dan
4.      Subkomisi Mediasi.
J.                  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai laporan tentang adanya kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak di Indonesia.
Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah :
1.      Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
2.      Memberikan laporan, sasaran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
K.                Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau sering disingkat sebagai Komnas Perempuan adalah sebuah institusi hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai hak sasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan. Karenamandatnya yang spesifik terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka ada yang mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai sebuah institusi hak asasi manusia yang spesifik,[24] berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bersifat lebih umum mencangkupi seluruh aspek dari hak asasi manusia.
Berdasarkan Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 yang diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No.65 tahun 2005, maka keberadaan Komnas Perempuan bertujuan untuk:
1.      Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan di Indonesia;
2.      Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentu kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
L.                 Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Kemunculan Ombudsman Nasional lebih didasari oleh semangat reformasi yang bertujuan menata kembali perikehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam rangka melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun. Semangat untuk melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada saat dimunculkannya Komisi Ombudsman Nasional sedang menjadi pembicaraan meluas dikalangan masyarakat. Walaupun tidak serta merta tujuan perlindungan hak asasi manusia tidak ada, namun secara formal dibentuknya Komisi Ombudsman Naisonal lebih dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi.



















BAB IV
PROSES PENEGAKAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA

A.                Dewan Hak Asasi Manusia
Berbagai kelompok kerja merupakan bagian penting dari kegiatan Dewan Hak Asasi Manusia. Seperti halnya dengan mekanisme pemantauan lainnya, kelompok kerja dibentuk oelh Komisi Hak Asasi Manusia dan diterima oleh Dewan Hak Asasi Manusia. Tidak seperti mekanisme lainnya, beberapa kelompok kerja berfokus terutama pada penetapan standar dan implementasi pada umumnya dari pada memantau berbagai norma hak asasi manusia.
Kelompok kerja dapat dibagi kedalam tiga kategori yaitu kelompok kerja tentang penetapan standar, kelompok kerja yang terbuka untuk semua dan kelompok kerja mengenai prosedur khusus.
Kelompok kerja tentang prosedur khusus juga dicatat diatas tentang bab prosedur khusus. Kelompok kerja pada penahanan dan penghilangan orang bekerja secara hampir sama dengan pelapor khusus, namun perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa tiap kelompok kerja terdiri dari lima ahli, yang mencangkup setiap wilayah PBB. Implikasinya ternyata positif karena laporan kerja tersebut lebih dihormati oleh anggota-anggota pada umumnya.
Kelompok kerja terbuka untuk semua, terbuka untuk partisipasi semua negara, dan organisasi non Pemerintah. Dengan demikian kegiatan mereka bercirikan perdebatan dan diskusi dari pada resolusi dan pembuatan rekomendasi yang efektif.
B.                 Komisi tentang Status Perempuan
Pada tahun-tahun pertamanya, komisi ini bekerja khususu untuk menetapakan standar hak asasi manusia dalam DUNHAM 1948 maupun dalam kedua Konvensi Kembar 1966, tetapi juga dalam konvensi-konvensi dan dokumen-dokumen yang khusus. Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan dan protokol opsionalnya adalah Dokumen Hak Asasi Mansia utama yang telah mengatur penyelenggaraan konvensi-konvensi perempuan sedunia, mengajukan pengangkatan pelapor khusus dan berusaha untuk mengutamakan hak-hak perempuan dalam sistem PBB. Komisi itu telah membentuk sistem pengaduan yang sama dengan prosedur pengaduan 1503 menurut Dewan Hak Asasi Manusia.
Ketika membentuk komisi yang terpisah untuk hak-hak perempuan, Dewan Ekonomi dan Sosial disatu pihak memfokuskan kegiatannya pada situasi perempuan, dan dipihak lain memisahkan isu-isu perempuan dari kegiatan hak asasi manusia yang lenbih umum yang dilakukan oleh komisi hak asasi manusia dan Komisaris tinggi Hak Asasi Manusia. Ketika membentuk sistem pengaduannya sendiri, dalam banyak hal bertumpang tindih dengan sistem yang telah ada dalam Komisi Hak Asasi Manusia. Sehingga komisi tersebut kurang memainkan peran penting seperti yang seharusnya dilakukan.
C.                Komite Hak Asasi Manusia
Melalui pembicaraan dengn Wakil-wakil negara,  komite bermaksud berupaya mencapai suatu dialog konstruktif dengan negara-negar yang merusak. Jadi pendekatan Komite akan bervariasi sesuai dengan tingkat perlindungan hak asasi manusia dimasing-masing negara. Pedoman itu selanjutnya menunjukan isi laporan, dan komite untuk maksud itu dapat meminta laporan tambahan dari negar-negara. Pedoman itu telah menformalkan masuknya informasi lain dari pada laporan negara-negara itu sendiri serta komentar-komentar dari organisasi-organisasi non pemerintah dan pengetahuan dari para ahli. Belum lama ini komite mulai meminta informasi dari wakil-wakil negara tentang tindakan-tindakan yang diambil oleh negara-negara itu mengenai tindak lamnjut rek,omendasi komite sebelumnya. Pasal 40 ayat (4) dan pasal 45 mengharuskan Komite Hak Asasi Manusia untuk menyampaikan Laporan tahunan tentang kegiatannya Kepada Majelis Umum PBB. Berbeda dengan praktik sebelumnya, laporan sekarang ini merujuk pada pandangan Komite terhadap negara-negara tertentu dan juga menyajikan pendapat yang berbeda tentang anggota-anggota Komite yang bersangkutan.    
  1. Komite atas Penghapusan Diskriminasi Rasial
Sistem komunikasi antar negara menurut Konvensi tentang penghapusan Diskriminasi Rasial diatur oleh pasal 11-Pasal 13. Mekanisme ini bersifat wajib, hal ini terlihat ketika membandingkan rumusan pasal 11-Pasal 13 dengan mekanisme pengaduan Individual yang diatur dalam pasal 14 yang merupakan mekanisme pilihan.
Mekanisme pengaduan kasus individual berasal dari 14 Konvensi yang luas. Penting untuk diperhatikan bahwa pengaturan ini bersikap suka rela, hanya berlaku bagi negara-negara yang telah memberikan wewenang kepada komite, lihat pasal 14 ayat (9). Sampai saat ini, hanya 47 dari 170 negara pihak konvensi yang telah mengikuti mekanisme komnunikasi individual.
Mekanisme pengaduan menurut komite tangtang penghapusan Diskriminasi Rasial telah digunakan secara terbatas, salah satu alasannya adalah sedikit jumlah negara yang telah menerima sistem pengaduan tersebut. Alasan lain adalah kenyataan bahwa sistem pengaduan lain dan yang lebih dikenal (misalnya Komite Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa) dalam banyak hal memiliki wewenang dalam kasus-kasus yang menyangkut diskriminasi rasial dan bahwa sistem pengaduan tersebut dipandang oleh banyak pengacara dan pemerintah sebagai lebih yuridis dan tidak efektif.
E.                 Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
Negara-negara dapat memberikat kekuasaan tambahan terhadap Kite tentang Penghapusan Diskriminasi Perempuan dengan inisiatif sendiri untuk “melakukan penyelidikan”, sesuai dengan Pasal 8. Pengaturan ini bersifat sukarela karena negara-negara dapat membuat reservasi terhadap Pasal 8 dan Pasal 9, sedangkan mekanisme komunikasi individual bersifat wajib, lihat Pasal 10 yang dikaitkan dengan pasal 17. Meskipun demikian, sifat sistem tersebut adalah suka rela dalam arti protokol Opsional atau tidak. Mekanisme investigasi sebagai mana yang telah berjalan digunakan apabila Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menerima informasi yang dapat dipercaya yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran berat dan sistematis terhadap konvensi. 
F.                  Komisi Menentang Penyiksaan
Menurut Pasal 20 Konvensi menentang Penyiksaan, Komite dapat melakukan investigasinya sendiri. Hal ini merupakan mekanisme semi wajib, namun negara-negara yang menjadi pihak yang pada konvensi dapat mendeklarasikan bahwa negara mereka tidak akan memberikan kekuasaan invenstigatif kepada komite.
Persyaratan untuk prosedur penyelidikan ex officio ini adalah bahwa Komite Pertama-tama “ menerima informasi yang dapat dipercaya yang mengandung indikasi kebenaran adanya penyiksaan yang dilakukan secara sistematis dalam wilayah negara pihak yang sebagaimana ditetapkan dalam pasal 20 ayat (1). Dalam Pemeriksaan informasi ini Komite meminyta negara yang bersangkutan untuk bekerja sama, kemudian komite mengangkat seorang atau lebih anggotanya untuk melakukan penyelidikan tertutup dan melaporkan kembali engan segera, sesuai dengan pasal 20 ayat (1). Para ahli boleh melakukan kunjungan ke negara bersangkutan dengan persetujuan negara tersebut, lihat Pasal 20 ayat (3). Keseluruhan proses dan akhirnya adalah tertutup tetapi ringkasnya dapat dimasukan dalam laporan tahunan, lihat ayat (5). Pasal 20 memperbolehkan negara membuat reservasi tetapi dalam hal ini belum pernah dilakukan, lihat Pasal 28 ayat (1).
G.                Komite Tentang Anak
Tidak ada mekanisme yang mengatur petisi yang telah dibentuk berdasar konvensi tentang hak anak baik untuk negara maupun untuk individu. Tidak ada ketentuan Konvensi yang memungkinkan dan mengijinkan mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa antar negara-negara Pihak. Meskipun demikian Konvensi tentang anak membentuk semacam metode pelaksanaan yang didasarkan kepada bentuk kerjasama internasional, lihat Pasal 45. Badan-Badan Khusus seperti UNICEF dan organ PBB lainya berhak untuk hadir pada waktu pembahasan sedang dilakukan oleh Komite. Komite boleh mengundang badan dan organ ini untuk memberi nasehat atau menyampaikan laporannya sendiri dalam bidang yang berada dalam lingkup mandat badan dan organ itu dan dapat lebih lanjut meminta majelis Umum untuk melakukan studi tentang masalah khusus mengenai anak-anak.
Sejak diterimanya konvensi tentang Hak Anak, UNICEF telah memiliki peran khusus. UNICEF merupakan aktor penting dalam perkembangan konvensi, dan telah menjadi konvensi tentang Hak anak sebagai prinsip dasar kegiatanya. Hubungan ini membawa arah baru ketika pada 1998 UNICEF memutuskan bahwa seluruh progaramnya harus berdasarkan hak asasi manusia. Prespektif ini mengandung arti bahwa anak-anak adalah pemegang hak bukan penerima pasif kerendahan hati. UNICEF berfokus pada anak-anak yang sulit dijangkau, seperti anak-anak dalam perang atau persengketaan, pekerja anak, anak-anak cacat, anak-anak jalanan dan anak-anak yang bermasalah dengan hukum.
H.                Mahkamah Konstitusi
Secara kategoris, jaminan Hak Asasi Manusia dalam Undang0Undang Dasar 1945 mencangkup hak-hak sosial-politik, hak-hak kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas pembangunan dan lain-lain. Dalam konteks pemahaman diatas, beberapa hak tekah secara meyakinkan “ditegakkan” (dalam arti dikabulkan) melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang.  Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Perubahan Ketiga UUD 1945 (tahun 2001) dan baru bekerja sejak akhir tahun 2003, mekanisme nasional penegakan hak asasi manusia oleh Mahkamah Konstitusi masih harus ditunggu kecenderunganya. Selain itu, pengujian undang0undangpun belum merupakan tradisi yang mapan dan kehidupan konstitusional yang baru, pasca amandemen konstitusi, masih dalam tahap pembentukan.
I.                   PROSES PENEGAKAN KOMNAS HAM
Dalam UU No. 26/2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 18, bagian keempat, penyidikan, ayat (1): penyidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Unsur Masyarakat.
            Selanjutnya, Bab VIII tentang Partisipasi Masyarakat, Pasal 100 (UU No.39/1999): “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.” Sedangkan, Pasal 101:”.....berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan,dan pemajuan hak asasi manusia”.
          Sebagaimana perintah UU No.39/1999, Pasal 104 (1): “untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan peradilan umum,” diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam salah satu pertimbangannya, huruf (b) berbunyi: “bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perseorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran yang berat....” 
          Mengutip Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 89 ayat (3) “ Untuk melaksanakan fungsi komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan, antara lain: melakukan pemanggilan kepada pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan.
Di samping itu menyebut juga pasal 19 undang-undang nomor 26 tahun 2000 pasal 18 berbunyi:
(1)   Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2)   Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam penyelidikan sebagimana yang dimaksud ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas KOMNAS HAM dan Unsur Masyarakat.
Pasal 19 :
(1)   Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana di maksud dalam pasal 18, penyelidik berwenang ;
a.       Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat dan lingkupnya patut di duga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
b.      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti.
c.       Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan di dengar keterangannya.
d.      Memanggil saksi untuk diminta dan di dengar kesaksiannya.
e.       Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f.       Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
J.                   Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 Wakil Ketua, 1 Sekertaris, dan 5 anggota yang terdiri dari unsur Pemerintahan, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Salah satu keunikan KPAI lembaga ini diperkenankan oleh perundang-undangan untuk membentuk kelompok kerja dimasyarakat dan juga membentuk perwakilan di daerah yang keduannya ditetapkan oleh ketua KPAI. KPAI bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan masa keanggotaanya adalah selama 3(tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja KPAI didasarkan pada prinsip pemberdayaan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.
K.                Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komnas perempuan terdiri dari Komisi Paripurna dan Badan Pekerja. Tanggung Jawab untuk menjalankan tugas Komnas Perempuan terletak pada Komisi Paripurna yang sekaligus juga pemegang kekuasaan tertinggi di Komnas Perempuan. Komisi Paripurna dibantu dan didukung oleh Badan Pekerja yang diketuai oleh Sekertaris Jendral.
Berbeda dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan tidak memiliki mandat untuk melakukan Penyelidikan yang bersifat pro justicia. Dalam skala yang massive dan potensi kekerasan yang serius suatu wilayah, komnas perempuan mengembangkan perangkat pengdokumentasian kasus dan membentuk mekanisme pelapor khusus. Pelapor khusus ini adalh seorang yang diberi mandat untuk mengembangkan mekanisme dan program yang komprehensif untuk menggali data dan informasi serta menginformasikan pengalaman-pengalaman perempuan sehubungan dengan adanya kekerasan dan diskriminasi. Tujuan adanya proses pengdokumentasian ini tidak saja untuk mengetahui masalah terkait dengan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan tetapi juga untuk mencari solusi mendasar untuk membuka jalan pemenuhan hak korban.[25]
L.                 Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Presiden Abdurahman Wahid mendirikan Komisi Ombudsman Nasional dengan dua tujuan, pertama, untuk membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, untuk meningkatkan kembali perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik. Tujuan tersebut diharapkan akan tercapai dengan cara:
  1. Melakukan sosialisasi dan diseminasi pemahaman mengenai lembaga Ombudsman kepada masyarakat luas;
  2. Melakukan kordinasi dan/atau kerjasama dengan instansi pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain;
  3. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam melaksanakan pelayanan umum;
  4. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.[26].




DAFTAR   PUSTAKA
  1. Buku-Buku
Hukum Hak Asasi Manusia/Rhona K.M. Smith, at.al.--- Yogyakarta: PUSHAM UII,2008
Mansyur dan Taufani, HAM dalam dimensi/dinamika yuridis, sosial, poitik. Bogor:Ghalia Indonesia,2010
Rachmad Maulana Firmansyah,dkk, Kajian Lembaga Penegak Hukum di Indonesia,Jakarta: PSHK, 2012
  1. Perundang-undangan
Undang-undang RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diubah dengan UU No.9 Tahun 2004
Pasal 28 jo. UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
UU No.27 Tahun 2004
UU No.18 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Keppres No.4 tahun 2000


[1] Hukum Hak Asasi Manusia/Rhona K.M. Smith, at.al.--- Yogyakarta: PUSHAM UII,2008, hlm.11.
[2] Ibid.Hlm.12.
[3] Ibid
[4] Ibid. Hlm.15-16.
[5] Ibid.Hlm 16.
[6] Undang-undang RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
[7] Hukum Hak Asasi Manusia/Rhona K.M. Smith. Op.Cit.hlm 92.
[8] Ibid.Hlm.113.
[9] Ibid,Hlm.160.
[10] Ibid.Hlm.162
[11] Mansyur dan Taufani, HAM dalam dimensi/dinamika yuridis,sosial,poitik.Bogor:Ghalia Indonesia,2010.hlm 151.
[12] Ibid
[13] Lihat, ibid.,hlm.151-152.
[14] Ibid, hlm. 153.
[15] UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diubah dengan UU No.9 Tahun 2004.
[16] Pasal 28 jo. UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
[17] UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disetujui bersama oelh DPR dan Pemerintah, September 2004. Tetapi keseluruhan UU KKR 2004 dibatalkan oleh MK dalam Putusan No.006/PPU-IV/2006.
[18] Pasal 24C UUD RI jo. UU No.18 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian undang-undang merupakan salah satu wewenang MK. Wewenang lainnya adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Konstitusi, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, memutus pembubaran partai politik, serta memutus dugaan DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melanggar Hukum.
[19] Hukum Hak Asasi Manusia, Rhona K.M. Smith, at.al.---OpCit Hlm.280.
[20] UU MK 2003
[21] Rhona K.M. Smith, at.al.---OpCit Hlm. 152-153.
[22] Rachmad Maulana Firmansyah,dkk, Kajian Lembaga Penegak Hukum di Indonesia,Jakarta: PSHK, 2012.Hlm. 92.
[23] Ibid, Hlm. 93.
[24] Rhona K.M. Smith, at.al.---OpCit Hlm. 290.
[25] Hukum Hak Asasi Manusia,Lock Cit, Hlm 294.
[26] Pasal 4 Keppres No.4 tahun 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar