BEBERAPA
CATATAN BERKAITAN DENGAN
RUU
KUHP BARU
--------------------------------------------------------------
Prof. Dr. Muladi, SH
(Anggota Tim
Perancang RUU KUHP)
Perkembangan hukum pidana nasional sampai saat ini
mengikuti pelbagai pendekatan (reform
approach) sebagai berikut :
- Pendekatan evolusioner melalui pelbagai amandemen pasal-pasal tertentu baik
yang berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a KUHP Jo. UU No. 1 Tahun 1965 ) maupun
dekriminalisasi sebagai konsekuensi Pasal V UU No. 1 Tahun 1946);
- Pendekatan semi-global dengan munculnya pelbagai tindak pidana khusus di luar
KUHP seperti UU Tindak Pidana
Korupsi, UU tentang Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme dan
sebagainya, mengingat kekhususan-kekhususan pengaturan baik di bidang hukum pidana materiil maupun hukum
pidana formil;
- Pendekatan kompromi, dengan
pengaturan suatu Bab baru dalam
KUHP akibat ratifikasi konvensi internasional yang signifikan (misalnya Bab
XXIX A KUHP Jo. UU No. 4 Tahun 1976
sebagai konsekuensi ratifikasi terhadap
Konvensi-konvensi Montreal,
Tokyo dan Konvensi The Haque
tentang Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan Terhadap Sarana Penerbangan) ;
- Pendekatan komplementer dengan munculnya hukum pidana administrative (administrative penal law) di mana
sanksi hukum pidana digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi
(UU Pers, UU tentang HAKI, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya).
Sepanjang berkaitan dengan RUU KUHP baru
pendekatan yang dilakukan adalah bersifat menyeluruh dan bukan bersifat
‘amandemen’ dengan maksud untuk
menggantikan WvS warisan Belanda dengan KUHP Nasional, sehingga pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan global (global
approach), yang tidak mungkin bisa difahami secara sepotong-sepotong (fragmented) seperti yang tersirat dalam
polemik di masyarakat akhir-akhir ini.. Usaha ini sudah berlangsing lebih
dari 40 tahun (1963) semenjak Seminar
Hukum Nasional I di Semarang yang dimotori oleh BPHN Departemen Kehakiman..
Tokoh-tokohnya seperti Prof. Oemar Senoadji, Prof. Sudarto, Prof Ruslan Saleh
bahkan sudah wafat.
Mengutip pendapat salah satu anggauta
Tim Perancang Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, SH, maka asas-asas dan system hokum
pidana nasional dalam Konsep RUU KUHP disusun berdasarkan ‘ide keseimbangan’
yang mencakup :
-
keseimbangan monodualistik antara
‘kepentingan umum/masyarakat’ dan ‘kepentingan individu/perseorangan’;
-
keseimbangan ide perlindungan/kepentingan
korban dan ide individualisasi pidanal
-
keseimbangan antara unsure/factor
‘obyektif’ (perbuatan/lahiriah) dan ‘subyejtif’ (orang/batiniah/sikap batin);
ide ‘daad-dader strafrecht’;
-
keseinbangan antara criteria ‘formal’
dan ‘material’’;
-
keseimbangan antara ‘kepastian hukum’,
‘kelenturan /elastisitas/ fleksibilitas’ dan ‘keadilan’;
-
keseimbangan nilai-nilai nasional dan
nilai-nilai global/ internasional/ universal.
Dalam
merumuskan RUU KUHP para pakar yang terlibat telah berusaha menyerap aspirasi.yang
bersifat multidimensional baik yang
berasal dari elemen-elemen suprastruktural, infrastruktural, akademis maupun
aspirasi internasional dalam bentuk pengkajian terhadap pelbagai kecenderungan
internasional dan pelbagai KUHP dari seluruh keluarga hukum (Anglo Saxon,
Kontinental, Timur Tengah, Timur Jauh dan Sosialis). Namun demikian selalu tidak dilupakan aspirasi yang berasal
dari budaya bangsa (elemen partikularistik);
Sepanjang mengenai Asas-asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I, beberapa hal
yang perlu digarisbawahi adalah sebagai berikut :
- Nuansa HAM dalam rangka
menciptakan hukum pidana yang manusiawi (humanitarian criminal law) sangat menonjol, baik untuk
kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku maupun kepentingan korban
kejahatan. Sifat hukum pidana yang semula merupakan hukum pidana perbuatan
(Daadstrafrecht) (WvS) yang
dipengaruhi Aliran Klassik setelah Revolusi Perancis disempurnakan menjadi hukum pidana yang
juga berorientasi pada pelaku, atas
dasar pengaruh Aliran Modern/
Aliran Neo-Klassik (Daad-daderstrafrecht);
Pidana yang semula semata-mata bertujuan untuk pembalasan (retribution) ditujukan kearah yang
lebih bermanfaat (lihat Butir 9 di bawah);
- Dalam kaitannya dengan Butir 1 di
atas, sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak, maka secara khusus
diatur tentang ‘ Pidana dan
Tindakan Bagi Anak’ dalam Bab
tersendiri (Bab Keempat, Pasal 106 s/d Pasal 123 RUU). Dalam Pasal 106 RUU
juga ditegaskan batas minimum umum pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal
responsibility) yaitu 12 tahun;
- Korban kejahatan (victim of
crime) juga memperoleh
perhatian, khususnya antara lain pada pengaturan tentang pedoman
penjatuhan pidana (sentencing
guidelines) dan jenis sanksi pidana (strafsoort) (Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) huruf I RUU;
- Asas legalitas dilengkapi dengan
kemungkinan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat dan berlakunya
hukum adat. Dengan demikian dimungkinkan berlakunya ajaran sifat
melawan hukum materiil (materiele
wederechtelijkheid) dalam fungsinya baik negatif maupun positif
(Pasal 1 ayat (3) RUU;
- Masalah keadilan (justice) yang bersifat dominan. Dalam Pasal 16 RUU diatur, bahwa dalam
mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum;
- Dalam merumuskan perbuatan yang
bersifat melawan hukum, tidak lagi dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) (WvS Buku II dan Buku III). Teori dan
konsep yang mendasari pembedaan tersebut (‘wetsdelict’ dan ‘rechtsdelict’)
tidak lagi relevan karena tidak lagi diterapkan secara konsisten. Kedua
jenis delik tersebut disatukan dengan satu istilah “Tindak Pidana’ (Bab
II) ;
- Pengaturan ‘corporate criminal responsibility’
yang bersifat umum atas dasar Teori Identifikasi (Pasal 44 s/d Pasal 49 RUU);
- Pengaturan kemungkinan
diterapkannya bentuk ‘vicarious liability’ dan ‘strict liability’ (Pasal 32 RUU);
- Tujuan pemidanaan (the aim of punishment) yang
bersifat komprehensif-integral dan teleologis
dirumuskan, baik yang memperhatikan si pelaku (memasyarakatkan
terpidana dan membebaskan dari rasa bersalah) maupun yang bersifat
melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
masyarakat ) serta mengembalikan harmoni kehidupan social (menyelesaikan konflik).
Tujuan yang bersifat retributive dianggap ‘implied’ dalam pelbagai tujuan pemidanaan yang
multi-dimensional tersebut
(Pasal 50 RUU);
- Pengaturan tentang pedoman
penjatuhan pidana (standard guidelines of
sentencing/straftoemetingsleidraad)
untuk meciptakan pemidanaan yang obyektif dan rasional (Pasal 51 RUU);
- Kecenderungan untuk menghindari
pidana kemerdekaan jangka pendek (short
prison sentence) yang cenderung merusak, dengan mengatur sebanyak
mungkin sanksi alternative (alternative
sanctions) seperti pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana kerja
social dan pidana denda (Pasal 60
RUU dan seterusnya);
- Demikian pula mengenai system
tindakan yang diatur secara luas pada Pasal 94 RUU dan seterusnya.
Sistem tindakan diterapkan sehubungan dengan ketentuan Pasal 34 RUU yang
mengatur tentang pelaku yang menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau
retardasi mental dan Pasal 35 RUU bagi mereka yang kurang dapat
dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa,,penyakit jiwa atau
retardasi mental; Pengaturan simultan antara pidana (straf) dan tindakan (maatregel)
dalam suatu harmoni dikenal dalam hokum pidana modern sebagai system 2
(dua) jalur (double-track system,
Zweispurigkeit);
- Pidana mati (capital punishment) tetap dipertahankan, namun diatur dalam pasal tersendiri sebagai ‘pidana yang bersifat khusus’ dan
selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai ‘upaya
terakhir untuk mengayomi masyarakat’ (Pasal 80 RUU). Dengan
syarat-syarat tertentu juga dimungkinkan penerapan ‘Pidana Mati
Percobaan’ (conditional death
penalty) (Pasal 82 RUU), di mana pidana mati dimungkinkan untuk diubah
menjadi pdana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun penjara;
- Pidana denda diatur dengan system
kategori I-VI untuk mengatasi persoalan inflasi dan
sebagainya (Pasal 75 RUU);
- Pengaturan sanksi adat berupa
‘pemenuhan kewajiban adat’ (Pasal 93);
- Dalam Pasal 126 diatur pemberatan
pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana dengan
mendayagunakan keahlian atau profesinya, memanfaatkan anak di bawah usia
18 tahun atau dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya/huru
hara/bencana alam;
- Guna menampung perkembangan modern
seperti kejahatan telematika (cyber-crime)
dan sebagainya pada Pasal 174 RUU
diatur bahwa definisi ‘barang’ mencakup pula ‘benda berujut’ (air)
dan ‘benda tak berujut’ seperti aliran listrik, gas, data dan program
komputer, jasa komputer dan telpon;
Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan Tindak Pidana (Bab II), hal-hal yang
menarik adalah sebagai berikut :
1.
Kriminalisasi terhadap penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme
/Marxisme/Leninisme secara melawan hukum; Apabila sampai
menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat maka ada pemberatan pidana. Hal ini
sebagai konsekuensi keberadaan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 (Pasal 193 dan Pasal
195 RUU);
2.
Tindak pidana yang terkenal sebagai pasal-pasal
penyebaran kebencian dan permusuhan (haatzaai-artikelen), (Pasal 154 dan
Pasal 156 WvS) tetap diatur dengan perobahan
merupakan ‘penghinaan’ dan dirumuskan secara materiil.
Untuk penghinaan pada pemerintah sah harus menimbulkan akibat terjadinya
keonaran dalam masyarakat dan terhadap
golongan rakyat Indonesia harus berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang
atau barang ( Pasal 247 dan Pasal 249 RUU);
3.
Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan
Beragama diatur dalam Bab Khusus (Bab VII RUU).
Hal ini merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan ‘Nation State’ yang religius, di mana semua agama (religion) yang diakui sah di
Indonesia merupakan kepentingan hukum
yang besar yang harus dilindungi dan
tidak sekedar merupakan bagian dari ketertiban umum yang mengatur tentang rasa
keagamaan atau ketenteraman hidup beragama; Hal ini semacam ‘Blasphemy’ di Inggris atau ‘Godslasteringswet’ di Belanda;
4.
Bab khusus baru yang lain adalah Bab VI
RUU yang mengatur ‘Tindak Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan’.
Tindak pidana di sini tidak hanya mengatur ‘Contempt
of Court’, tetapi juga ‘Obstruction
of Justice’. Catatan : Ada
kritik mengapa dalam Pasal 288 ayat (1) RUU yang diancam pidana hanya penasihat
hukum ?
5.
Pasal 255 RUU mengatur ‘bukan delik santet’ yang
bersifat delik materiil, tetapi delik
formil untuk mencegah dan memberantas praktek ‘black magic’ (setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai
kekuatan magis memberitahukan, menimbulkan harapan , menawarkan atau memberikan
bantuan jasa kepada orang lain untuk menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik).
Dengan kriminalisasi diharapkan dapat mencegah praktek penipuan, praktek ‘black magic’ benar atau tidak, dan praktek main hakim sendiri anggota masyarakat
dalam menangani mereka yang dituduh sebagai dukun santet di beberapa daerah;
6.
Perluasan delik perkosaan
dan delik perzinahan (adultery)
(delik aduan); menghamili wanita
secara tidak bertanggungjawab; persertubuhan dengan janji kawin yang diingkari; homoseksualitas terhadap anak di
bawah usia 18 tahun; hidup bersama diluar kawin
(kumpul kebo) (merupakan delik materiil dan delik aduan); persetubuhan
antara orang dewasa yang tidak kawin
atau ‘fornication’ (merupakan delik
materiil dan delik aduan); ‘incest’
dan ‘loitering’ (bergelandangan di
muka umum untuk melacurkan diri); (Bab XV);Selanjutnya tindak pidana
homosukseualitas yang sebenarnya bukan hal yang baru. Pembaharuan dari KUHP
hanya berkaitan dengan pembatasan
terhadap homosek yang dilakukan terhadap anak di bawah 18 tahun (Pasal 427 RUU KUHP) Catatan : Ada yang berpendapat agar delik yang tersebut pada Butir
5 dan delik kumpul kebo dan fornication
diatasi saja dengan hukum adat (Pasal 1
ayat 3 RUU);
7.
Dalam membahas delik susila tersebut
pada Butir 6, ada kecenderungan masyarakat perkotaan yang secular untuk
menerapkan konsep ‘victimless crimes’
sebagaimana yang berlaku di Barat yang melihat korban sebagai korban
individual. Dalam Konsep Timur konsep korban harus dilihat dalam konteks
social.
Catatan
:
RUU KUHP nampaknya masih memerlukan
penyempurnaan dan konsolidasi kembali, dengan mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut :
(a).
Masih kurangnya sosialisasi dan mengingat pula bahwa setelah selesainya
perumusan RUU KUHP pada tahun 2000 telah
terjadi perkembangan yang pesat dalam hukum pidana, seperti UU
tentang Pemberantasan Terorisme yang materinya antara lain juga diatur dalam RUU KUHP (Pasal-pasal 256,
302 dan 303 RUU, ), UU tentang
Pengadilan HAM yang mengatur ‘genocide’
yang juga diatur dalam RUU KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur
pula Tindak Pidana Jabatan yang juga
diatur dalam Pasal 304 RUU KUHP, UU No. 23 Tahun 1997 yang mengatur Tindak
Pidana Lingkungan Hidup yang diatur pula dalam Pasal 329-330 RUU KUHP, dan
Tindak pidana Pencucian Uang (Money Laundering) serta pemahaman tentang ‘Delik
Pers’ dalam kaitannya dengan HAM dan UU Pers (the freedom of expression) dan
lain-lain , maka disarankan agar RUU KUHP
tersebut diaudit dan dikonsolidasikan
kembali, dengan melibatkan :
a.
Pakar-pakar yang terlibat dalam
perancangan; dan
b.
Pakar-pakar lain yang relevan.
Jangka
waktu yang dibutuhkan kira-kira antara 3-6 bulan (auditing, konsolidasi dan sosialisasi). RUU yang sudah diperbaharui
kemudian diajukan kepada DPR hasil Pemilu 2004, mengingat masa kerja DPR
saat ini tidak lama lagi (apalagi mereka sudah disibukkan dengan kegiatan
mengadapi Pemilu), padahal RUU terdiri atas lebih dari 600 pasal yang
membutuhkan waktu pembahasan yang relatif lama.
Sebagai contoh untuk bahan ‘auditing’ dan konsolidasi yang bisa
juga bermanfaat secara timbal balik dengan perkembangan tindak pidana di luar
KUHP, adalah kriminalisasi terhadap orang yang menjadi anggota organisasi
terorisme yang diatur dalam Pasal 303 RUU, tetapi belum diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Demikian pula beberapa tindak pidana baru sebagaimana diatur dalam Palermo Convention Tahun 2000 misalnya
tentang ikut serta dalam organisasi kejahatan, penyelundupan imigran gelap (human cargo), perdagangan wanita dan
anak-anak untuk pelacuran juga belum diatur dalam RUU;
(b).
Perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi (KUHP), khususnya berupa
pelbagai UU Tindak Pidana Khusus
nampaknya sulit dihindarkan mengingat berkembangnya pelbagai tindak
pidana berat yang sering dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seperti korupsi,
terorisme, kejahatan transnasional terorganisasi (organized transnational crimes) dll., yang memerlukan cara-cara luarbiasa juga untuk
menanggulanginya (extraordinary measures) dan
seringkali cara-cara luar biasa ini
harus menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum baik hukum pidana
materiil (KUHP) maupun hukum acara pidana (KUHAP); Catatan : Baru-baru ini
Indonesia menandatangani UN Convention Against Coruption, Vienna, 2003. Perlu
dikaji implikasinya terhadap hukum nasional yang berkaitan dengan tiga
permasalahan pokok hukum pidana.
(c).
Telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang mempunyai
implikasi terhadap hukum pidana dalam bentuk kriminalisasi. Sesuai dengan
system yang dianut oleh Indonesia, maka kriminalisasi tersebut tidak terjadi
secara otomatis, namun masih memerlukan adanya ‘implementing legislation’. Beberapa Konvensi tersebut antara lain
adalah Convention Against Torture,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan Convention Against Racial Discrimination.
(d)
Perlu dikaji pekembangan asas-asas hukum pidana
sehubungan dengan perkembangan hukum pidana nasional dan internasional
(international criminal law) yang sangat pesat sepertin keberadaan Statuta Roma
1998, penyimpangan terhadap asas
legalitas, kejahatan korporasi, ketentuan pidana mati, penerapan jurisdiksi
universal dan asas dalam pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat, ‘crimes by
omission’ dalam kaitannya dengan ‘command responsibility’, ‘war crimes’, pemahaman terhadap hukum pidana khusus,
perkembangan ajaran sifat melawan hukum materiil dan sebagainya;
(e)
Antisipasi tentang implikasi KUHP baru terhadap hukum acara pidana (KUHAP). Sebagai
contoh adalah akibat dihapuskannya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran
yang disatukan dalam satu istilah ‘tindak pidana’.
(f)
Penyesuaian dengan iklim demokratisasi sebagai inti Gerakan Reformasi yang
bergulir sejak awal tahun 1998.
Jakarta, 17 Januari, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar