A.
Pengertian Etika
Etika atau dalam
bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti :
Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam
masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Secara etimologis
etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang
berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap. Aristoteles adalah
filsuf pertama yang berbicara tentang etika secara kritis, reflektif, dan
komprehensif. aristoles pula filsuf pertama yang menempatkan etika sebagai
cabang filsafat tersendiri. Aristoteles dalam konteks ini lebih menyoal tentang
hidup yang baik dan bagaimana pula mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup
yang bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan
hidupnya. menurut Aristoteles denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya
berarti manusia itu mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih apa
yang apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir hidup
manusia adalah kebahagiaan, eudaimonia.
Perilaku menjadi obyek
pembahasan etika, karena dalam perilaku manusia menampakkan berbagai model
pilihan atau keputusan yang masuk dalam standar penilaian atau evaluasi,
apakah perilaku itu mengandung kemanfaatan atau kerugian baik bagi dirinya
maupun bagi orang lain.
B.
Fungsi Etika
Di era modernisasi dengan segala kecanggihan yang membawa perubahan dan
pengaruh terhadap nilai-nilai moral, adanya berbagai pandangan ideologi yang
menawarkan untuk menjadi penuntun hidup tentang bagaimana harus hidup dan
tentunya kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam
bidang moral sehingga bingung harus mengikuti moralitas yang mana, untuk itu
sampailah pada suatu fungsi utama etika, sebagaimana disebutkan Magnis Suseno
(1991 : 15), yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam
berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.
C.
Pengertian Profesi
Profesi dalam kamus besar bahasa indonesia adalah bidang pekerjaan yang
dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu.
jenis profesi yang dikenal antara lain : profesi hukum, profesi bisnis, profesi
kedokteran, profesi pendidikan (guru). menurut Budi Santoso ciri-ciri profesi adalah
:
1.
suatu bidang yang terorganisir dari
jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas;
2.
suatu teknis intelektual;
3.
penerapan praktis dari teknis intelektual
pada urusan praktis ;
4.
suatu periode panjang untuk suatu
pelatihan dan sertifikasi;
5.
beberapa standar dan pernyatan tentang
etika yang dapat diselenggarakan;
6.
kemampuan memberi kepemimpinan pada
profesi sendiri;
7.
asosiasi dari anggota-anggota profesi
yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi
antar anggota;
h.pengakuan sebagai profesi;
h.pengakuan sebagai profesi;
8.
perhatian yang profesional terhadap
penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi;
9.
hubungan erat dengan profesi lain.
D.
Etika Profesi
Etika profesi adalah bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau
pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagia
anggota umat manusia (Magnis Suseno et.al., 1991 : 9). untuk melaksanakan
profesi yang luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari
pelakunya ( Magnis Suseno et.al., 1991 : 75). Tiga ciri moralitas yang tinggi
itu adalah :
1.
Berani berbuat dengan bertekad untuk
bertindak sesuai dengan tuntutan profesi.
2.
Sadar akan kewajibannya, dan
3.
Memiliki idealisme yang tinggi.
E.
Profesi Hukum
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh
aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil, 2003 : 8).
profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia dewasa ini diatur
dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Pengemban profesi hukum harus bekerja secara profesional dan fungsional,
memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan pengabdian
yang tinggin karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan sesama
anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban profesi hukum
bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila terjadi penyimpangan atau
pelanggaran kode etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya
sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.
F.
Nilai Moral Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai
moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan
dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut agar memiliki
nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai
moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum :
1.
Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :
a.
Sikap terbuka, berkenaan dengan
pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan melayani atau secara cuma-Cuma
b.
Sikap wajar. Ini berkenaan dengan
perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar,
tidak menindas, tidak memeras.
2.
Otentik
Otentik artinya menghayati dan
menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya.
Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :
a.
tidak menyalahgunakan wewenang;
b.
tidak melakukan perbuatan yang
merendahkan martabat (malkukan perbuatan tercela;
c.
mendahulukan kepentingan klien;
d.
berani berinsiatif dan berbuat sendiri
dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu atasan;
e.
tidak mengisolasi diri dari pergaulan
sosial.
3.
Bertanggung
Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesioal
hukum wajib bertanggung jawab, artinya :
a.
kesediaan melakukan dengan sebaik
mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya ;
b.
bertindak secara proporsional, tanpa
membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo);
c.
kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban
atas pelaksanaan kewajibannya.
4.
Kemandirian
Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah
terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di
sekitarnya, melainkan memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri.
mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak
terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan
nilai kesusilaan dan agama.
5.
Keberanian
Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan
terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko
konflik. Keberanian tersebut antara lain :
a.
menolak segala bentuk korupsi, kolusi
suap, pungli;
b.
menolak segala bentuk cara penyelesaian
melalui jalan belakang yang tidak sah.
G.
Etika Profesi Hukum
Dari hasil uraian diatas dapat kita rumuskan tentang pengertian etika
profesi hukum sebagai berikut : Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik
dan apa yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai
pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. sesuai dengan
keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa subyek
hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat hukum(advokad,
pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.
Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam
lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi
etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan
manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud pengendalian,
pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang wajib dipijaki,
kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat ditegakan
nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan,
keempat, dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat
dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition dan terakhir
yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh pada
norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan kehidupan dapat
berlangsung dengan baik.
Urgensi atau pentingnya ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi
pembahasan utama dengan tulisannya yang berjudul " Ethika
Nicomachela". Aristoteles berpendapat bahwa tata pegaulan dan penghargaan
seorang manusia, yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu,
akan tetapi didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang
lain. Pandangan aristoles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan
kepedulian dan tuntutan memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika,
kehidupan manusia manjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan untuk
melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan.
Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu
deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya
memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata
kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada
konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut
baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan
bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat
disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng
menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten
menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan
manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan
untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang seseorang
menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak
orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan
hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku
manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari
ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang menentukannya. ada keharusan, perintah
dan larangan, serta sanksi-sanksi.
H.
Teori Hukum Dalam Hubungannya Dengan Etika
Salah satu teori hukum yang memiliki keterkaitan signifikan dengan etika
adalah "teori hukum sibernetika". Teori ini menurut Winner, hukum itu
merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu yang bertujuan untuk
mewujudkan keadilan. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang menurut
premis yang mendahuluinya disebut sebagai central organ. Perwujudan tujuan atau
pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu,
penghindaran sengketa atau dengan menerapkan sanksi-sanksi hukum terhadap suatu
sengketa. Dengan cara demikian, setiap individu diharapakan berperilaku sesuai
dengan perintah, dan keadilan dapat terwujud. Teori ini menunjukan tentang
peran strategis pemegang kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk membuat
(melahirkan) hukum. dari hukum yang berhasil disusun, diubah, diperbaharui,
atau diamandemen ini, lantas dikosentrasikan orientasinya unyuk mengendalikan
komunikasi antar individu dengan tujuan menegakan keadilan. Melalui
implementasi hukum dengan diikuti ketegasan sanksi-sanksinya, diharapakan
perilaku individu dapat dihindarkan dari sengketa, atau bagi anggota masyarakat
yang terlibat dalam sengketa, konflik atau pertikaian, lantas dicarikan
landasan pemecahannya dengan mengandalakan kekuatan hukum yang berlaku.
I.
Dampak Penegakan Dan Pelanggaran
Etika
Penyair Syauqi Beg Menyebutkan "sesungguhnya bangsa itu jaya selama
mereka masih mempunyai ahklak (moral) yang mulia, maka apabila ahklak mulianya
telah hilang. maka hancurlah bangsa itu". Manusia memang sering kali
bersikap dan berperilaku yang berlawanan dengan norma yang sudah dipelajari dan
dipahaminya. Norma moral memang sudah banyak dipahami oleh kalangan
komunitas terdidik (aparatur negara) ini, tetapi mereka masih juga melihat
pertimbangan kepentingan lain yang perlu, dan bahkan harus didahulukan dengan
cara mengalahkan berlakunya norma moral (akhlak). contoh-contoh kasus yang
merupakan dampak dari pelanggaran etika banyak di jumpai masyarakat atau dalam
perjalanan kehidupan bangsa ini. perilaku orang kecil (kalangan miskin) yang
melanggar norma moral sangat berbeda akibatnya jika dibandingkan dengan
perilaku pejabat atau aparatur negara. Kalau pejabat atau aparatur negara yang
melakukan penyimpangan moral, maka dampaknya bukan hanya sangat terasa bagi
keberlanjutan hidup bermasyarakat dan bernegara, tetapi juaga terhadap citra
institusi yang menjadi pengemban tegaknya moral. Masyarakat tanpa akhlak mulia
sama seperti masyarakat rimba dimana pengaruh dan wibawa diraih dari
keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas
akhlak dalam diri. manusia yang mengabaikan etika kehidupan itulah yang membuat
bumi ini sakit parah, menjadi korban keteraniayaan, atau mengalami kerusakan
berat. kerusakan ini tidak lagi membuat bumi menjadi damai, bahkan sebaliknya
menuntut tumbal yang mengerikan yang barangkali tidak terbayangkan dalam
pikiran manusia. Banyaknya kasus yang terjadi dan akibat yang ditimbulkan lua
biasa, maka ini menunjukan bahwa dampak dari pelanggaran etika atau penyimapangan
moral tidaklah main-main. pelanggaran moral telah terbukti mengakibatkan
problem serius di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat khususnya di
Indonesia. Kondisi masyarakat tampak demikian tidak berdaya, menjauh dari hak
kesejahteraan, hak keadilan, hak pendidikan yang berkualitas, hak jaminan
kesehatan dan keselamatan, adalah akibat pelanggaran moral yang sangat kuat.
J.
Eksistensi Etika Profesi Hukum
Pameo "ubi societas ibi ius" (dimana ada masyarakat, disana ada
hukum) sebenarnya mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang
bersifat universal. Dalam setiap masyarakat, mulai dari yang paling modern
sampai pada masyarakat yang primitif, terdapat gejala sosial yang disebut
hukum, apapun namanya. Bentuk dan wujudnya berbeda-beda, tergantung pada
tingkat kemajemukan dan peradapan masyarakat yang bersangkutan. Istilah-istilah
yang bermunculan di masyarakat pun tidak berbeda dengan apa dengan apa yang
dialami dengan istilah hukum, yakni seiring dengan perkembangan (dinamika) yang
terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat. Di tengah masyarakat terdapat
pelaku-pelaku sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, dan lainnya, yang bisa
saja melahirkan istilah-istilah atau makna varian sejalan dengan tarik menarik
kepentingan. Perkembangan istilah-istilah yang diadaptasikan dengan dinamika
sosial budaya masyarakat kerapkali menyulitkan kalangan ahli-ahli bahasa,
terutama bila dikaitkan dengan penggunaan bahasa yang dilakukan di lingkungan
jurnalistik media cetak. Perkembangan pers yang mengikuti target-target
globalisasi informasi, industrialisasi atau bisnis media, dan transformasi
kultural, politik dan ekonomi yang berlangsung cepat telah memberikan pengaruh
yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan pergeseran serta pengembangan makna,
istilah, atau kosakata. Misalnya kata profesi cukup gampang diangkat dan
dipakai oleh bermacam-macam pekerjaan, perbuatan, perilaku dan pengambilan
keputusan. Kata profesi mudah digunakan sebagai pembenaran terhadap aktifitas
tertentu yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang.
Kata pekerjaan itu sebagai hak (right) secara yuridis juga dapat ditemukan
dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 sebagai berikut :
1.
Setiap orang berhak, sesuai dengan
bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2.
Setiap orang berhak dengan bebas memilih
pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan.
3.
Setiap orang, baik pria maupun wanita
yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas
upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4.
Setiap orang, baik pria maupun wanita,
dalam melakukan kerja yang sepandan dengan martabat kemanusiaan berhak atas
upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya.
Thomas Aquinas menyatakan,
bahwa setiap wujud kerja mempunyai empat tujuan sebagaimana berikut :
1.
Dengan bekerja, orang dapat memenuhi apa
yang yang menjadi kebutuhan hidup sehari-harinya.
2.
Dengan adanya lapangan pekerjaan, maka
pengangguran dapat dihapuskan/dicegah. Hal ini juga berarti, dengan tidak
adanya pengangguran, maka kemungkinan timbulnya kejahatan (pelanggaran hukum)
dapat dihindari pula.
3.
Dengan surplus hasil kerjanya, manusia
juga dapat berbuat amal bagi sesamanya.
4.
Dengan kerja, orang dapat mengontrol atau
mengendalikan gaya hidupnya.
Menurut Liliana
Tedjosaputro, suatu lapangan kerja itu dapat dikategorikan sebagai profesi
diperlukan :
1.
Pengetahuan
2.
Penerapan keahlian (competence of
application)
3.
Tanggung jawab sosial (social
responsibility)
4.
self control
5.
pengakuan oleh masyarakat (social
sanction)
Ciri-ciri khas profesi
dalam international encyclopedia of education adalah sebagai
berikut :
1.
Suatu bidang yang terorganisasi dari
teori intelektual yang terus menerus berkembang dan diperluas;
2.
Suatu teknik intelektual;
3.
Penerapan praktis dan teknik intelektual
pada urusan praktis;
4.
Suatu periode panjang untuk pelatihan
dan sertifikatisasi;
5.
Beberapa standar dan pernyataan tentang
etika profesi yang dapat diselenggarakan;
6.
Kemampuan memberi kepemimpinan pada
profesi sendiri;
7.
Asosiasi dari anggota-anggota profesi
menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar
anggota;
8.
Pengakuan sebagai profesi;
9.
Perhatian yang profesional terhadap
penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi;
10.
Hubungan yang erat dengan profesi lain.
Profesi hukum memiliki
tempat yang istimewa ditengah masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan
eksistensi konstitusional kenegaraan yang telah mendeklarasikan diri sebagai
negara hukum (rechstaat). Profesi hukum pun berangkat dari suatu proses,
yang kemudian melahirkan pelaku hukum yang andal. Penguasaan terhadap
perundang-undangan, hukum yang sedang berlaku dan diikuti dengan aspek
aplikatifnya menjadi substansi profesi hukum. Tanggung jawab seorang yang
profesional, menurut Wawan Setiawan, paling tidak harus bertanggung jawab
kepada :
1.
Klien dan masyarakat yang dilayaninya;
2.
Sesama profesi dan kelompok profesinya;
3.
Pemerintah dan negaranya.
K.
Fungsi Kode Etik Profesi Hukum
Terjadinya pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran karena kebutuhan
ekonomi yang terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikis yang
seharusnya berbanding sama. Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus
kembali kepada hakikat manusia dan untuk apa manusia itu hidup. hakikat manusia
adalah mahkluk yang menyadari bahwa yang benar, yang indah dan yang baik adalah
keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikis dan inilah yang
menjadi tujuan hidup manusia. Etika sangat diperlukan karena beberapa
pertimbangan (alasan) berikut :
1.
kita hidup dalam masyarakat yang semakin
pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung harus mengikuti
moralitas yang mana.
2.
Modernisasi membawa perubahan besar
dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menantang
pandangan-pandangan moral tradisional.
3.
Adanya pelbagai ideologi yang menawarkan
diri sebagai penuntun hidup yang masing-masing dengan alasannya sendiri
mengajarkan bagaimana manusia harus hidup.
4.
Etika juga diperlukan oleh kaum beragama
yang di satu pihak diperlukan untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman
kepercayaan mereka, dilain pihak mau berpastisipasi tanpa takut-takut dan
dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang
berubah itu.
Ada dimensi fungsional
mengapa etika itu perlu dituangkan dalam kode etik profesi :
1.
Menjelaskan atau menetapkan tanggung
jawab kepada klien, institusi dan masyarakat. ada sasaran konvergensi tanggung
jawab yang dituju, yakni bagaimana hak-hak istimewa klien, kelembagaan dan
masyarakat dapat ditentukan dan diperjuangkan. pengemban profesi mendapatkan
kejelasan informasi dan "buku pedoman" mengenai kewajiban yang harus
dilaksanakan, sementara klien, lembaga dan masyarakat pun secara terbuka
mengetahui hak-haknya.
2.
Membantu tenaga ahli dalam menentukan
apa yang harus mereka perbuat jika menghadapi problem dalam pekerjaannya.
Problem yang dihadapi seperti munculnya kasus-kasus hukum baru yang
penanganannya membutuhkan kehadiran ahli atau diluar kemampuan spesifikasi
adalah membutuhkan pedoman yang jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan
dan kekeliruan, sehingga kalau sampai terjadi seorang ahli itu misalnya tidak
mampu menyelesaikan problem yang dihadapinya tidaklah lantas dipersalahkan
begitu saja.
3.
Diorientasikan untuk mendukung profesi
secara bermoral dan melawan perilaku melanggar hukum dan indispliner dari
anggota-anggota tertentu. Pengemban profesi (hukum) mendapatkan pijakan yang
dapat dijadikan acuan untuk mengamati perilaku sesama pengemban profesi
yang dinilai melanggar hukum. Dengan keberadaan kode etik, akan lebih muda
ditentukan bentuk, arah dan kemanfaatan penyelenggaraan profesi hukum.
4.
Sebagai rujukan untuk menjaga prestasi
dan reputasi, baik secara individu maupun kelembagaan.
Ada beberapa fungsi
kode etik :
1.
Kode etik sebagai sarana kontrol sosial.
Kode etik memberikan semacam kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi
dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip
profesional yang telah digariskan.
2.
Kode-kode etik profesi mencegah
pengawasan atau campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh
masyarakat melalui agen atau pelaksanannya.
3.
kode etik adalah untuk pengembangan
patokan kehendak yang lebih tinggi. Kode etik ini dasarnya adalah suatu
perilaku yang sudah dianggap benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar
pula.
4.
Kode etik profesi dapat dijadikan
pedoman untuk memberdayakan, kemahiran, spesifikasi atau keahlian yang sudah
dikuasai oleh pengemban profesi. Dengan kode etik, pengemban profesi dituntut
meningkatkan karier atau prestasi-prestasinya. Kalau itu merupakan kode etik
profesi hukum, maka pengemban profesi hukum dituntut menyelaraskan
tugas-tugasnya secara benar dan bermoral. Kode etik menjadi terasa lebih
penting lagi kehadirannya ketika tantangan yang menghadang profesi hukum makin
berat dan kompleks, khususnya ketika berhadapan dengan tantangan yang bersumber
dari komunitas elit kekuasaan. sikap elit kekuasaan terkadang bukan hanya tidak
menghiraukan norma moral dan yuridis, tetapi juga mempermainkannya.
L.
Profesi Hukum dan Penegakan Hukum
Suatu profesi hukum di awali dengan proses pendalaman dan penguasaan
spesifikasi keilmuwan di bidang perundang-undangan (hukum). Orang yang berniat
menjadi penyelenggara atau pengemban profesi hukum haruslah masuk dalam
lingkaran atau komunitas proses. Tanpa melalui jalan ini, sulit dihasilkan
seorang figur penyelenggara hukum yang handall (profesional). Profesionalitas
ikut ditentukan oleh peran atau kontribusi yang ditujukan selama berada dalam
komunitas profesi.
Ada tahap seseorang baru boleh dan tepat mempelajari pengertian hukum dan
profesi, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari fungsi, orientasi dan manfaat
sebuah profesi hukum ditengah masyarakat. Tahap-tahap yang perlu dilalui ini
menjadi pengantar menuju penegakan, pemberdayaan dan pemuliaan profesi.
Implementasi profesi itu, termasuk profesi hukum sebenarnya tergantung dari
pribadi yang bersangkutan karena mereka secara pribadi mempunyai tanggung jawab
penuh atas mutu pelayanan profesinya dan harus secara mandiri mampu memenuhi
kebutuhan warga masyarakat atau diabadikan untuk kepentingan umum yang
memerlukan pelayanan dalam bidang hukum, untuk itu tentunya memerlukan keahlian
yang berkeilmuan serta dapat dipercaya. Dinamika kualitas pelayanan profesi itu
terkait dengan tingkat dan macam problem yang dihadapi masyarakat. Suatu jenis
profesi, termasuk profesi hukum akan bisa dilihat perkembangan dan prospeknya
melalui ragam konflik sosial yang muncul.
Untuk menjadi penyelenggara profesi hukum yang baik dibutuhkan kehadiran
sarjana-sarjana hukum dan praktisi hukum yang memiliki kualifikasi sikap
berikut :
1.
Sikap kemanusiaan, agar tidak menaggapi
(menyikapi) hukum secara formal belaka, Artinya, sebagai sarjana hukun dituntut
sejak dini untuk gemar melakukan analisis dan interpretasi yuridis yang sesuai
dengan aspirasi dan dinamika masyarakat, sehingga dalam dirinya tidak sampai
kehilangan, apalgi tergusur atau terdegradasi wacana kemanusiaan. Tuntutan
memiliki sikap kemanusiaan (human attitude) itu tidaklah muncul seketika,
tetapi melalui proses yang menuntut konsentrasi dalam hal sinergi dan
intelektual. Kalau sikap ini bisa dimiliki, maka seorang sarjana hukum akan
mampu menjadi penyelenggara profesi hukum yang bukan tergolong sebagai
"mulut/corong undang-undang" (la bauche de laloi), tetapi sebagai
penyelenggara profesi hukum yang humanis.
2.
Sikap keadilan yang berorientasi pada
nilai-nilai kemanusiaan. Ketentuan perundang-undangan yang berhasil dipelajari
dan mengantarkannya sebagi pihak yang jadi pusat ketergantungan masyarakat
adalah sudah seharusnya kalu sikap-sikap yang ditujukan itu mencerminkan dan
mengartikulasikan tuntutan masyarakat. pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat
yang memang sebenarnya merupakan hak-haknya akan menentukan apakah dirinya
pantas disebut sebagai penyelenggara profesi hukum yang baik atau tidak. Sikap
yang ditujukan dalam menangani suatu perkara hukum misalnya bukan
dilatarbelakangi oleh tuntutan memperoleh keuntungan pribadi seperti harta dan
kemapanan posisi, tetapi adalah memenuhi panggilan keadilan. Menunjukan sikap
yang baik bukanlah hal yang mudah bagi penyelenggara hukum. Hal-hal yang menuju
pada kebaikan kerapkali dihadapkan dengan beragam tantangan yang bertujuan
hendak mematikan cahaya kebaikan itu. Kalau ada pihak yang bersemangat dan
kukuh dalam memegang kode etik, maka di sisi lain biasanya terdapat sejumlah
pengganggu yang menjadi pemerdayanya. Sikap adil yang ditujukan oleh
penyelenggara profesi huku dapat dikategorikan sebagai ekspresi nuraniah yang
cukup berani dan mulia, mengingat dengan sikap itu, penyelenggara profesi hukum
berarti tidak sampai kehilangan jati diri dan tetap menjadi pemenang
karena mampu mengalahkan beragam tantangan yang berusaha menjinakan sikap
adilnya.
3.
Mampu melihat dan menempatkan
nilai-nilai objektif dalam suatu perkara yang ditangani. Penyelenggara hukum
yang dihadapkan dengan kasus seorang klien, yang perlu dan harus dikedepankan
lebih dulu adalah mencermati dan menelaah secara teliti kronologis kasus
tersebut. Ketika klien menyampaikan latar belakang kejadian munculnya kasus
(konflik) itu, maka penyelenggara hukum dituntut bisa mempertanyakan,
mendialogkan dan mengongklusiakn kasus itu sampai muncul dan apa yang
diinginkan setelah kasus itu terjadi, termasuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan akhir kasus itu dengan berpijak pada inti persoalan
objektif dan pijakan yuridis yang sudah diketahuinya. Wacana objektifitas itu
sangat penting bagi penyelenggara hukum, mengingat hal ini selain dapat
dijadikan bahan untuk membantu menyelesaikan kasus yang dihadapinya, ia juga
akan tetap mampu memepertahankan konsistensi keintelektualannya dalam
mengembangkan disiplin ilmu hukum. Penyelenggara seperti ini akan mampu
menyeimbangkan antara da sollen dan das sein. Disiplin ilmu hukum yang berhasil
diraihnya tetap percaya dan mampu menerangi kepentingan masyarakat, dan bukan
senaliknya tergeser oleh kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi yang
melupakan sisi normatif dan referensi keilmuannya.
4.
Sikap kejujuran. Sikap ini boleh dikata
menjadi panduan moral tertinggi bagi penyelenggara profesi hukum. sebagai suatu
panduan tertinggi, tentulah akan terjadi resiko dan impact yang cukup
komplikatif bagi kehidupan masyarakat dan kenegaraan kalau sampai sikap itu
tidak dimiliki oleh penyelenggara hukum. Sebagai suatu sikap yang harus
ditegakkan dalam penyelenggaraan profesi, maka tanggung jawab yang terkait
dengannya akan ditentukan karenannya. Kasus-kasus hukum akan bisa diatasi dan
tidak akan terhindar dari kemungkinan mengundang timbulnya persoalan
sosial-yuridis yang baru bilamana komitmen kejujuran masih diberlakukan oleh
kalangan penyelenggara profesi hukum. kasus-kasus yang muncul ditengah
masyarakat, baik yang diketegorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum maupun
moral tidak sedikit di antaranya dikarenakan oleh ketidakjujuran yang dilakukan
seseorang maupun kelompok sosial. Sikap jujur ini menjadi pangkal atas
terlaksana dan tegaknya stabilitas nasional. Masyarakat, terlebih rakyat kecil
akan dapat menikmati kehidupan sejahtera dan harmonis bilamana sikap jujur tak
sampai terkikis dalam diri kalangan orang-orang besar yang diantaranya adalah
penyelenggara profesi hukum yang salah satu tugasnya menjembatani aspirasi
orang-orang kecil.
M.
Profesi Hukum dan Manajemen Hukum
" Manajemen hukum punya hubungan yang istimewa dengan profesi hukum.
Dengan manajemen yang baik, citra profesi hukum akan jadi lebih baik.
Sebaliknya, dengan manajemen yang buruk, citra profesi hukum akan menjadi
buruk. Manajemen menjadi ukuran kinerja pengemban profesi hukum".
Profesi adalah sebuah sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya
mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman
lain, atau bahkan diperoleh melalui keduanya, sehingga penyandang profesi dapat
membimbing atau memberi nasehat/saran atau juga melayani orang lain dalam
bidangnya sendiri. Pelayanan ini sudah masuk dalam kategori manajemen yang
bertalian dengan kepentingan masyarakat, publik atau klien.
Perlu diketahui lebih dulu, bahwa ada beberapa ciri khusus yang terdapat
dalam pandangan umum tentang profesi, yaitu :
1.
Persiapan atau training khusus. Sebuah
persiapan adalah tindakan yang di dalamnya termuat pengetahuan yang tepat
mengenai fakta fundamental dimana langkah-langkah profesional mendasarkan diri,
demikian juga dengan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dengan
cara yang praktis.
2.
Merujuk pada keanggotaan yang permanen,
tegas dan berbeda dari keanggotaan yang lain. kebanyakan negara dan masyarakat
profesi atau kegiatan profesionalnya, maka setiap orang dituntut memiliki
sertifikat, ijij usaha ataupun ijin praktik.
3.
Aseptibilitas sebagai motif pelayanan.
Aseptibilitas atau kesediaan menerima, sebagai kebalikan motif menciptakan
uang, adalah ciri khas dari semua profesi pada umumnya. Cita-cita sebuah
profesi adalah pelayanan umum dan bukan pertama-tama menciptakan uang.
N.
Profesi Hukum dan Unsur-Unsur Penegakan
Hukum
Pengertian penegakkan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan
hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi
pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu
supaya ditegakkan kembali.
Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan sebagai
berikut;
1.
Teguran peringatan supaya menghentikan
pelanggaran dan jangan berbuat lagi (percobaan);
2.
Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian,
denda);
3.
Penyisihan atau pengucilan (pencabutan
hak-hak tertentu);
4.
Pengenaan sanksi badan (pidana penjara,
podana mati).
Kalau sudah menjadi
pengemban profesi hukum, maka statusnya sebagai profesional hukum wajib bertanggung
jawab, artinya :
1.
Kesediaan melakukan dengan sebaik
mungkin tugas apa yang termasuk lingkup profesinya.
2.
Bertindak secara proporsional, tanpa
membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo).
3.
Kesediaan memberikan laporan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
Seperti disebutkan
Frans Magnis Suseno (dkk). bahwa ada tiga ciri kepribadian moral yang dituntut
dari para penyandang atau pemegang profesi luhur (hukum) ini, yaitu :
1.
Berani berbuat dengan tekad untuk
memenuhi tuntutan profesi.
2.
Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi
selama menjalankan tugas profesionalnya.
3.
Memiliki idealisme sebagai perwujudan
makna "mission statement" masing-masing organisasi profesionalnya.
Idealisme Negara Hukum
'' Negara adalah perwujudan sifat-sifat manusianya. Negara adalah apa yang
menjadi perilaku manusianya. Karena itu, kita tidak dapat mengharapkan keadaan
negara menjadi lebih baik, jika manusianya tidak lebih baik dari perilakunya
(Plato). Keadaan negara hukumpun demikian, ia (negara hukum) bisa gagal menjadi
negara berjatidirikan negara hukum, bilamana pilar-pilar strategisnya tidak
menunjukan perilaku yang sejalan dengan kaidah kebenaran norma hukum. Akibat
yang sulit dihindari akibat banyaknya perilaku manusia yang berseberangan
dengan norma hukum, adalah lahirnya stigma, kalau Indonesia bisa menjadi negara
tanpa hukum". (Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin)
Ide negara hukum,
selain terkait dengan konsep 'rechtstaat' dan 'the
rule of law', juga berkaitan dengan konsep 'nomocracy' yang
berasal dari perkataan 'nomos' dan 'cratos'. Perkataan
nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan 'demos' dan 'cratos' atau 'kratien' dalam
demokrasi. 'Nomos' berarti norma, sedangkan 'cratos' adalah
kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan
erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan
tertinggi. dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu
dapat dikaitkan dengan prinsip "the rule of law" yang berkembang di
Amerika Serikat menjadi jargon "the rule of law, and not of man".
Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin itu adalah huku itu sendiri, bukan
orang.
Secara moral politik
setidaknya ada empat alasan utama orang menuntut agar negara diselenggarakan
(dijalankan) berdasarkan atas hukum yaitu : (1) kepastian hukum, (2) tuntutan
perlakuan yang sama, (3) legitimasi demokrasi, dan (4) tuntutan akal budi.
Negara hukum tidak dapat dilepaskan dari pengertian negara demokrasi. Hukum
yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara
yang demokratis, hukum diangkat, dan merupakan respons dari aspirasi rakyat.
Oleh sebab itu hukum dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Masalah-Masalah
Profesi Hukum Dalam pembahasan profesi hukum, Sumaryono (1995) menyebutkan lima
masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius, yaitu :
1.
Kualitas pengetahuan profesional hukum;
2.
Terjadi penyalahgunaan profesi hukum;
3.
Kecenderungan profesi hukum menjadi
kegiatan bisnis;
4.
Penurunan kesadaran dan kepedulian
sosial;
5.
Kontinuasi sistem yang sudah usang.
6.
Kualitas Pengetahuan Profesional Hukum
Setiap profesional
hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum sebagai penentu bobot kualitas
pelayanan hukum secara profesional. Hal ini sudah menjadi tujuan pendidikan
tinggi bidang hukum. Menurut ketentuan pasal 1 Keputusan Mendikbud No.
17/Kep/O/1992 tentang Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program pendidikan
sarjana bidang hukum bertujuan untuk menghsilkan sarjana hukum yang :
1.
Menguasai hukum Indonesia;
2.
Mampu menganalisa hukum dalam
masyarakat;
3.
mampu menggunakan hukm sebagai sarana
untuk memecahkan masalah konkret dengan bijaksana dan tetap berdasarkan
prinsip-prinsip hukum;
4.
Menguasai dasar ilmiah untuk
mengembangkan ilmu hukum dan hukum;
5.
Mengenal dan peka akan masalah keadilan
dan maslah sosial;
Tujuan tersebut dapat
dicapai tidak hanya melalui program pendidikan tinggi hukum, melainkan juga
berdasarkan pengalaman setelah sarjana hukum bekerja menurut masing-masing
profesi bidang hukum dalam masyarakat.
Hukum adalah norma
yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Tugas utama profesional hukm
adalah mengartikan undang-undang secara cermat dan tepat. Di samping itu,
profesional hukum juga harus mampu membentuk undang-undang baru sesuai dengan
semangat dan rumusan tata hukum yang telah berlaku. Keahlian yang diperlukan
adalah kemampuan teoritis dan teknis yang berakar pada pengetahuan yang
mendalam tentang makna hukum, dan membuktikan kemampuan diri menanamkan
perasaan hukum dalam masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa.
Profesional hukum yang
bertugas di bidang perundang-undangan berusaha agar undang-undang yang dibuat
itu tepat dan berguna. Pada kesempatan ini prinsip-prinsip etika (ketaatan
moral)digunakan sebagai ukuran hukum yang baik. Apabila pembentuk undang-undang
tidak dibekali dengan ketaatan moral, maka undang-undang buatannya itu tidak
lebih dari nasihat atau petunjuk belaka, tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Dapatkah ketaatan moral itu dipaksakan dalam hukum? jawabannya diketahui dari
rumusan hukum positif. Ada dua macam rumusan hukum positif, yaitu :
1.
Hukum Positif Deklaratif
Pernyataan rumusannya menggambarkan
ketentuan hukum kodrat, yang hanya memuat larangan. Ketaatan moralnyaterdapat
pada larangan. Tetapi ketaatan moral hukum positif terdapat pada pemaksaan,
yang mencantumkan sanksi keras jika dilanggar. Contoh adalah larangan membunuh,
jika larangan ini dilanggar, sanksi keras berupa hukuman penjara atau hukuman
mati.
2.
Hukum Positif Determinatif
Pernyataan rumusannya menentukan cara
berperilaku yang sesuai dengan hukum kodrat. Ketaatan moral hukum kodrat
terdapat pada perintah atau larangan berdasarkan baik buruknya perbuatan.
Tetapi ketaatan moral hukum positif terdapat pada penting tidaknya maslah dan
kehendak pembentuk undang-undang. Apabila masalah itu penting bagi
kesejahteraan umum (masyarakat), maka pembentuk undang-undang cenderung
memaksakan ketaatan secara ketat dengan ancaman sanksi kepada pelanggarnya.
Contohnya adalah cara melangsungkan perkawinan, cara berlalu lintas, cara
membayar pajak. dalam hal ini profesional hukum (pembuat undang-undang)
dituntut kemahirannya menganalisis masalah hukum dalam masyarakat dan peka
terhadap masalah keadilan.
Pelayanan hukum secara
profesional dan bermutu tinggi bergantung pada jenis profesi hukumnya dan bobot
pengetahuan hukum yang dikuasai oleh profesional hukum yang bersangkutan.
Apabila penguasaan pengetahuan hukum itu kurang memadai, maka pelayanan yang
diberikan akan salah arah atau salah sasaran, sehingga bukan keadilan yang dicapai,
melainkan ketidakadilan, suatu hal yang fatal. Untuk meluruskan kembali
kesalahan atau penyimpangan itu, dewan kehormatan profesi hukum mengevaluasi
perbuatan yang telah dilakukan oleh profesional hukum yang bersangkutan guna
menyatakan perbuatan itu sesuai atau melanggar kode etik profesi hukum yang
digelutinya.
Penyalahgunaan Profesi
Hukum, Sumaryono menyatakan, penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan
individu profesional hukum, atau karena tidak ada disiplin diri. dalam profesi
hukum dapat dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu di
satu sisi cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain praktek
penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut. Dalam hal ini
tidak seorang profesional hukum pun yang menginginkan perjalan kariernya
terhambat karena cita-cita profesi yang terlalu tinggi dan karenanya memberikan
pelayanan yang cenderung mementingkan diri sendiri. banyak profesional hukum
menggunakan status profesinya untuk menciptakan uang atau untuk maksud-maksud
politik. penyalahgunaan profesi hukum dapat juga terjadi karena desakan pihak
klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunua menang. Klien
tidak segan-segan menawarkan bayaran yang cukup menggiurkan baik kepada
penasihat hukum atau pun kepada hakim yang memeriksa perkara. Dalam hal ini
terjadilah pertarungan, siapa yang menbayar mahal itulah yang bakal menang.
penagakan hukum dijadikan ajang bisnis pelecehan hukum secara brutal. Di satu
sisi penegak hukum beralih haluan dari keadilan ke penghasilan, dan di sisi
lain klien menjadi perongrong wibawa hukum dan penegak hukum pokoknya menang.
Bagaimana keadilan bagi yang tidak mampu? wahai pengemban profesi hukum:
"kembalilah kepada etika profesi hukum".
Profesi Hukum Menjadi
Kegiatan Bisnis, Yang dimaksud kegiatan bisnis adalah kegiatan yang tujuan
utamanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Apabila kegiatan itu
adalah kegiatan profesi hukum, maka dikatakan profesi hukum itu kegiatan
bisnis. Jadi, ukuran untuk menyatakan profesi hukum itu kegiatan pelayanan
bisnis atau kegiatan pelayanan umum terletak pada tujuan utamanya. Memang
diakui bahwa dari segi tujuannya, profesi hukum dibedakan antara profesi hukum
yang bergerak dibidang pelayanan bisnis dan profesi hukum yang bergerak di
bidang pelayanan umum. Profesi hukum pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan
berdasarkan hubungan bisnis (komersial), imbalan yang diterima sudah ditentukan
menurut standar bisnis. Contohnya para konsultan yang menangani masalah
kontrak-kontrak dagang, paten, merek. Sedangkan profesi hukum pelayanan umum
menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan umum baik dengan bayaran atau
tanpa bayaran. Contoh profesi hukum pelayana umum adalah pengadilan, notaris,
LBH, kalaupun ada bayaran, sifatnya biaya pekerjaan atau administrasi. Sekarang
ini boleh dikatakan profesi hukum cenderung beralih kepada kegiatan bisnis
dengan tujuan utama: berapa yang harus dibayar, bukan apa yang harus
dikerjakan. Hal ini sudah menggejala merasuk segala jenis profesi hukum bidang
pelayanan umum, biaya pembuatan akta notaris mahal, biaya perkara di pengadilan
mahal, karena dibisniskan. Padahal tujuan diciptakannya undang-undang yang
mengatur kepentingan umum itu untuk menyejahterakan masyarakat, bukan
menyengsarakan masyarakat. Dengan demikian, jasa pelayanan umum yang diberikan
oleh profesional hukum berubah dari bersifat etis menjadi bersifat bisnis.
Mengapa terjadi demikian?
Dalam kenyataan
sekarang. profesi boleh dikatakan terdesak oleh bisnis karena imbalan atas
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan nilai kebutuhan layak dewasa ini.
Hal ini menjadi penyebab mengapa kode etik profesi hanya menjadi pajangan,
sulit diamalkan dalam memenuhi tugas profesi. Di samping itu, keahlian yang
berbeda pada setiap profesi mengakibatkan terjadi perbedaan mencolok antara
imbalan yang diterima oleh profesional yang berlainan profesi, misalnya :
1.
keahlian dosen berbeda dengan keahlian
dokter spesialis, akuntan, notaris, pengacara.
2.
keahlian pilot, nakhoda berbeda dengan
keahlian pengemudi bus di jalan raya.
3.
keahlian penerjemah, operator komputer
berbeda dengan kehlian pengarang buku.
4.
Kurang Kesadaran dan kepedulian Sosial
Kesadaran dan
kepedulian sosial merupakan kriteria pelayanan untuk profesional hukum.
Wujudnya adalah kepentingan masyarakat lebih di dahulukan daripada kepentingan
pribadi, pelayanan lebih diutamakan daripada pembayaran, nilai moral lebih
ditonjolkan daripada nilai ekonomi. Namun, gejala yang diamati sekarang
sepertinya lain dari apa yang seharusnya diemban oleh profesional hukum. Gajala
tersebut menunjukan mulai pudarnya keyakinan terhadap wibawa hukum.
Di antara gejala itu
adalah para profesional hukum mulai menjual jasa demi penghasilan yang lebih
tinggi. Dalam masyarakat, mereka menyediakan diri bagi kesejahteraan umat
manusia, dalam kegiatan profesional mereka menjadi orang sewaan yang dibayar
mahal oleh klien mereka. Para profesional hukum banyak menghabiskan waktu
memberi konsultasi kepada klien pengusaha secara pribadi melaksanakan hukum
dengan cara-cara yang justru melanggar hukum, misalnya bagaimana cara berkolusi
menyelesaikan maslah kredit melalui jalan belakang, menghindari pajak mahal.
Apapun jenis profesi hukumnya, profesional hukum adalah abdi masyarakat dan
abdi hukum yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, bukan kepentingan
pribadi semata-mata.
Dalam negara hukum
yang sedang membangun seperti Indonesia, profesional hukum yang sadar dan
peduli kepada kepentingan masyarakat sangat dibutuhkan. Mereka dibutuhkan
masyarakat untuk membela memperjuangkan nasib bagaimana berurusan dengan
birokrasi yang tidak berbelit-belit, berperkara dengan biaya wajar, memperoleh
ganti kerugian yang memadai akibat penggusuran hak-hak mereka. Demi tegaknya
hukum dan keadilan, profesional hukum yang berpihak kepada masyarakat golongan
sangat dibutuhkan guna memperjuangkan hak-hak mereka yang tergusur dan
tersingkir.
Kontinuasi Sistem Yang
Telah Usang, Profesional hukum adalah bagian dari sistem peradilan yang
berperan membantu menyebarluaskan sistem yang sudah dianggap ketinggalan zaman
karena di dalamnya terdapat banyak ketentuan penegakkan hukum yang tidak sesuai
lagi. Padahal profesional hukum melayani kepentingan masyarakat yang hidup
dalam masyarakat yang serba modern. Dahulu tidak dikenal bermacam ragam alat
kontrasepsi yang sekarang justru menjadi kebutuhan masyarakat pengikut program
keluarga berencana, tetapin tidak didukung oleh ketentuan hukum pidana tentang
delik kesusilaan yang sekarang masih berlaku. kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi bidang komputer yang dapat menimbulkan kejahatan model baru, bidang
kedokteran yang menimbulkan obat-obat terlarang seperti ekstasi, pelaku-pelaku
kejahatan tersebut belum dapat dijankau oleh hukum pidana yang berlaku
sekarang.
Demikian juga
istilah-istilah hukum yang digunakan di kalangan profesional hukum masih banyak
menimbulkan kerancuan, misalnya kolusi, korupsi, zina, kawin, kecelakaan,
karena konotasi dan interpretasinya dapat bermacam-macam.Hal ini dapat terjadi
karena perkembangan masyarakat yang begitu cepat akibat pengaruh globalisasi
informasi yang datang dari berbagai penjuru dunia ini.
Sistem penghukuman
juga sudah usang karena tidak dapat menjangkau pelaku kejahatan, kalaupun dapat
di jangkau hukuman tidak sepandan dengan kejahatan yang dilakukannya. Hal ini
mengundang emosi masyarakat yang merasakan hukuman yang tidak adil , tidak
sebanding dengan kejahatan yang dilakukan.
1.
Alasan Mengabaikan Kode Etik Profesi.
Menggejalanya perbuatan profesional yang
mengabaikan kode etik profesi karena beberapa alasan yang paling mendasar ,
baik sebagai individu anggota masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam
organisasi profesi, disamping sifat manusia yang konsumeristis dan nilai
imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang diberikan. Atas dasar
faktor-faktor tersebut, maka dapat diinventarisasi alasan-alasan mendasar
mengapa profesional cenderung mengabaikan dan bahkan melanggar kode etik
profesi.
a.
Pengaruh Sifat Kekeluargaan
Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi
perlakuan dan penghargaan yang sama terhadap anggota keluarga dan ini dipandang
adil. Perlakuan terhadap orang bukan keluarga lain lagi. hal ini berpengaruh
terhadap perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang
seharusnya memberi perlakuan sama terhadap klien.
Contoh, Amat keluarga notaris minta
dibuatkan akta hibah, notaris membebaskannya dari biaya pembuatan akta dengan
alasan tidak enak menarik biaya dari keluarga sendiri. Kemudian datang Bondan,
juga minta dibuatkan akta dengan membayar biaya yang telah ditentukan
jumlahnya. Amat dan Bondan keduanya adalah klien yang seharusnya mendapat
perlakuan sama menurut Kode Etik Notaris, tetapi nyatanya lain. Kode etik profesi
diabaikan oleh profesional.
Seharusnya masalah keluarga dipisahkan
dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Dalam contoh kasus tadi, notaris
seharusnya menarik bayaran dari mereka berdua karena sama-sama klien. Setelah
pulang dari kantor, notaris tadi datang ke Amat keluarganya, menghadiahkan uang
bayaran akta yang telah diterimanya dari Ahmat. Ini masalah keluarga bukan
profesi. Dengan cara demikian, notaris tidak perlu mengabaikan Kode Etik
Notaris.
b.
Pengaruh Jabatan
Salah satu ciri jabatan adalah bawahan
menghormati dan taat pada atasan dan ini adalah ketentuan undang-undang
kepegawaian. Fungsi eksekutif terpisah dengan fungsi yudikatif. Seorang hakim
memegang dua fungsi sebagai pegawai negeri sipil dan sebagai hakim. menurut
Kode Etik Hakim, hakim memutus perkara dengan adil tanpa pengaruh atau tekanan
dari pihak manapun.
Perkara yang diperiksa oleh hakim tadi
ternyata ada hubungannya dengan seorang pejabat yang adalah atasannya sendiri.
Dalam kasus ini di satu pihak hakim cenderung hormat pada atasan dan bersedia
membela atasan sebab kalau tidak, mungkin hakim tadi akan dipersulit naik
pangkat atau akan dimutasikan. Di pihak lain, pejabat mempunyai pengaruh
terhadap bawahan dan karena itu mengirim ketebelece (nota) kepada hakim, tolong
selesaikan perkara tersebut dengan sebaik-baiknya (konotasinya bela atasanmu),
bukan seadil-adilnya. Seharusnya hakim berlaku adil dan tidak memihak, tetapi
nyatanya memihak atasannya. Sekali lagi, kode etik profesi diabaikan oleh
profesional.
Seharusnya masalah jabatan dipisahkan
dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Hakim memeriksa perkara dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan Kode Etik hakim, dan sesuai pula dengan saran
katebelece atasannya (dengan sebaik-baiknya), sehingga putusannya pun
sebaik-baiknya (versi hakim seadil-adilnya) karena hakim bekerja secara
fungsional bukan secara struktural. Dengan demikian, hakim tidak mengabaikan
atasannya dan tidak pula mengabaikan Kode Etik Hakim.
c.
Pengaruh Konsumerisme
Gencarnya perusahaan-perusahaan
mempromosikan produk mereka melalui iklan media massa akan cukup berpengaruh
terhadap peningkatan kebutuhan yang tidak sebanding dengan penghasilan yang
diterima oleh profesional. hal ini mendorong profesional berusaha memperoleh
penghasilan yang lebih besar melalui jalan pintas atau terobosan profesional,
yaitu dengan mencari imbalan jasa dari pihak yang dilayaninya.
Contoh, seorang dosen dengan gaji yang
diterimanya cukup untuk biaya hidup, tetapi karena kebutuhan hiburan
mendorongnya untuk membeli perabotan yang mewah. Untuk memperoleh uang dia
menawarkan kolusi dengan mahasiswa yang diujinya : kalau ingin dibantu, saya
bersedia membantu supaya lulus mendapat nilai A asalkan ada tanda terima
kasihnya (maksudnya imbalan uang berupa uang yang sudah ditentukan tarifnya)
sambil menahan daftar nilai dan kertas ujian mahasiswa. Ternyata dosen yang
bersangkutan mengabaikan kode etik akademiknya.
Seharusnya pemenuhan kebutuhan itu dapat
dipenuhi dengan melakukan kerja ekstra apa saja yang dapat menjadi sumber
penghasilan tambahan, baik berkenaan dengan profesi maupun diluar profesi,
misalnya menjadi dosen luar biasa, pemimpin disuatu PTS, konsultan hukum,
melaksanakan proyek penelitian atau pengabdian kepada masyarakat. Kerja keras
adalah kodrat manusia dan ini menjadi lambang martabat manusia. Semua hal ini
merupakan sumber penghasilan tanpa melanggar kode etik profesi.
d.
Karena Lemah Iman
Salah satu syarat menjadi profesional
itu adalah taqwa kepada TUHAN Yang Maha Esa, yaitu melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan-NYA. Ketaqwaan ini adalah dasar moral manusia. Jika manusia
mempertebal iman dengan taqwa, maka di dalam diri akan tertanam nilai moral
yang menjadi rem untuk berbuat buruk. Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa
kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan
keburukan. Sesungguhnya TUHAN itu Maha Adil. Dengan taqwa kepada TUHAN Yang
Maha Es,. profesional memiliki benteng moral yang kuat, tidak mudah tergoda dan
tergiur dengan bermacam ragam bentuk materi disekitarnya. Dengan iman yang kuat
kebutuhan akan terpenuhi secara wajar dan itulah kebahagiaan sejatinya.
2.
Upaya Untuk Mematuhi Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah bagian dari
hukum positif, tetapi tidak memiliki upaya pemaksa yang keras seperti pada
hukum positif yang bertaraf undang-undang. Hal ini merupakan kelemahan kode
etik profesi bagi profesional yang lemah iman. Untuk mengatasi kelemahan ini,
maka upaya alternatif yang dapat ditempuh ialah melakukan upaya pemaksa yang
keras ke dalam kode etik profesi.
Alternatif tersebut dapat di tempuh
dengan dua cara, yaitu memasukan klausula penundukan pada hukum positif
undang-undang di dalam rumusan kode etik profesi, atau legalisasi kode etik
profesi melalui pengadilan negeri setempat. kedua upaya tersebut dapat kita
uraikan berikut ini .
a.
Klausula Penundukan Pada Undang-Undang
Setiap undang-undang mencantumkan dengan
tegas sanksi yang diancamkan kepada pelanggarnya. Dengan demikian menjadi
pertimbangan bagi warga , tidak ada jalan lain kecuali taat, jika terjadi
pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang cukup
memberatkan atau merepotkan baginya. Ketegasan sanksi undang-undang ini lalu
diproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi
undang-undang kepada pelanggarnya.
b.
Legalisasi Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah semacam
perjanjian bersama semua anggota bahwa mereka berjanji untuk mematuhi kode etik
yang telah dibuat bersama. Dalam rumusan kode etik tersebut dinyatakan, apabila
terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan oleh dewan kehormatan,
dan kewajiban mana yang harus diselesaikan oleh pengadilan. Untuk memperoleh
legalisasi, ketua profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan negeri setempat agar kode etik itu disahkan dengan akta penetapan
pengadilan yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggota untuk
mematuhi kode etik itu. Jadi kekuatan berlaku dan mengikat kode etik mirip
dengan akta perdamaian yang dibuat oleh hakim. Apabila ada yang melanggar kode
etik, maka dengan surat perintah, pengadilan memaksakan pemulihan itu.
Ringkasannya adalah Kode
etik profesi adalah norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi,
yang mengarahkan dan memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya
berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Kode
etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan
penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi adalah rumusan
norma moral manusia yang mengemban profesi dan menjadi tolak ukur perbuatan
anggota kelompok profesi. Kode etik profesi merupakan upaya pencegahan berbuat
yang tidak etis bagi anggota.
Setiap kode etik
profesi selalu dibuat tertulis yang tersusun secara teratur, rapi, lengkap
dalam bahasa yang baik tetapi singkat sehingga menarik perhatian dan
menyenangkan pembacanya. Alasan dibuat tertulis mengingat fungsinya sebagai
sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan pihak lain, dan pencegah
kesalahpahaman dan konflik. Namun kode etik profesi mempunyai kelemahan, yaitu
terlalu idealis yang tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar
profesional, sehingga menimbulkan kecenderungan untuk diabaikan.
Kecenderungan itu
ditandai oleh menggejalanya perbuatan yang menunjukan kode etik profesi kurang
berfungsi di kalangan para profesional anggota kelompok profesi. Kurang
berfungsinya kode etik profesi karena kolusi bermotif bisnis, jasa profesional
tidak sebanding dengan pendapatan yang diterimanya, pengaruh konsumerisme dan
yang paling menentukan adalah lemah iman. Kode etik profesi semata-mata
berdasarkan kesadaran moral, tidak mempunyai sanksi keras, sehingga pelanggar
kode etik tidak merasakan akibat perbuatanya, malahan seperti tidak berdosa
kepada sesama manusia.
Untuk mencegah
terjadinya pelanggaran serius terhadap kode etik profesi dapat ditempuh cara
penundukan pada undang-undang, sehingga pelanggaran kode etik akan diancam
dengan sanksi seperti pelanggar undang-undang. Cara lain lagi yaitu
melegalisasikan kode etik profesi kepada Ketua Pengadilan Negeri, sehingga
mempunyai kekuatan berlaku dan mengikat sama seperti akta perdamaian di muka
pengadilan.
O.
Moral Penyelenggara Hukum
Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disebutkan,
bahwa setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan
korupsi, kolusi dan nepotisme (ayat 4); dan berkewajiban melaksanakan tugas
dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa
pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok. Dan tidak
mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 6);
Kalau berpijak pada norma yuridis tersebut, dapatlah dipahami, bahwa setiap
penyelenggara negara, seperti eksekutif, yudikatif, dan yudikatif diregulasi
oleh kewajiban untuk menjalankan peran-perannya secara legal, tidak
bertentangan dengan norma hukum, atau tidak tergelincir dalam
perbuatan-perbuatan yang berbentuk pengkhianatan dan pembangkangan norma-norma
kebenaran.
Sayangnya tidak semua elemen negara mau menaati norma yuridis yang sudah
mengikat profesinya. Ibarat pepatah "patah satu tumbuh seribu",
elemen negara yang melanggar norma itu terus saja mengisi agenda sejarah negeri
ini. Di sebuah lembaga yang sebelumnya tidak disangka akan tumbuh manusia
bejat, ternyata mencuat juga seorang kleptokrat atau anggota mafia baru.
P.
Penegakan Hukum dan Citra Peradilan
Diperlukan suatu pemahaman mendasar dalam menyikapi eksistensi hukum. Di
dalam hukum itu mengandung nilai-nilai keagungan, karena di dalam hukum itu
terumus aturan main yang menggariskan tentang perilaku seseorang yang patut
dikatakan salah, benar, khilaf, dan jahat atau perilaku yang membuat kontruksi
kehidupan ini tidak lagi agung (berwibawa, mulia atau terjaga citranya). Hukum
diharapakan bisa menbuat masyarakat berperilaku agung, terpuji, memanusiakan
manusia, berkeadilan atau tidak merugikan orang lain. Seseorang yang bisa
menjunjung tinggi hukum ini berarti berhasil mengimplementasikan perilaku yang
berkeagungan.
Menurut L.J. Van Apeldoorn, secara umum tujuan hukum adalah mengatur
pergaulan hidup secara damai. Dalam setiap kehidupan manusia sebagai makhluk
sosial akan selalu berienteraksi dengan manusia yang lain. Dengan adanya
interaksi ini akan timbul kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan
yang kadang menimbulkan pertikaian, akan tetapi dengan interaksi juga
memberikan manfaat dengan menambah pengetahuan serta informasi lainnya. Sudikno
Mertokusumo menyebut, bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Hukum
yang dilanggar harus ditegakkan. Malalui penegakkan inilah, hukum menjadi
kenyataan.
Kalau mengikuti asas "equality before the law" yang sudah
digariskan oleh konstitusi, maka setiap warga negara ini bukan hanya
berkedudukan sederajat di depan hukum dan pemerintahan, tetapi juga
berkedudukan sederajat di dalam pertanggungjawaban hukumnya. Dalam prinsip ini,
tidak boleh ada perlakuan yang bercorak membedakan antara satu orang atau
kelompok dengan seseorang atau kelompok lainnya. Perilaku membedakan atau
melecehkan sama artinya dengan mengebiri sifat-sifat agung dari hukum itu
sendiri. Liliana Tedjosaputra menyebut, bahwa seharusnya, tingkah laku manusia
di dalam masyarakat itu dijalankan sesuai dengan prinsip negara kita, yakni
negara hukum berdasarkan Pancasila. Tegaknya hukum merupakan suatu prasyarat
bagi sebuah negara hukum. Penegakan hukum selalu melibatkan manusia-manusia di
dalamnya dan dengan demikian melibatkan tingkah laku manusia juga. Soerjono
Soekanto menyebut, bahwa inti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantah dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.
Q.
Supremasi Moral Pencegah Future Shock
Berbicara tentang mafia peradilan tidak terlepas dari perangai aparat
penegak hukum. Mahkamah Agung sendiri pun tidak lepas dari kondisi ini,
seharusnya Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir dari dunia peradilan di
Indonesia masihlah menjadi institusi yang sarat oleh kaum pengkhianat. Ditengarai,
kondisi di Mahkamah Agung masihlah mencerminkan kesejatian institusi peradilan
pada umumnya, bahwa dunia peradilan belum menjadi lembaga yang suci dalam
menegakkan amanat keadilan, tetapi masih dijadikan sebagai ajang kaum makelar
untuk memenangkan perkara. Kemenangan diperlakukan sebagai kartu mati yang
diburu oleh makelar yang bisa berkolaborasi dengan memasang bandrol atau tarif
tinggi.
Mentalitas palsu terlihat dalam potret penegakan hukum yang acapkali tidak
berpihak pada kebenaran dan keadilan atau lebih memenangkan
"rekayasa-rekayasa palsu", padahal penegakan hukum ini, apalagi di
level lembaga peradilan setingkat Mahkamah Agung, menjadi acuan utama kehidupan
makro bangsa, termasuk dunia pembelajaran masyarakat di bidang hukum. Mentalitas
palsu telah mengakibatkan kinerja berbagai bidang strategis menjadi sarat
dengan rekayasa atau mengikuti arus permainan yang diproduk oleh pelakunya.
Kebohongan publik dengan mengatasnamakan hukum dan keadilan ditampilkan
untuk membentuk imajinasi massa, bahwa produk kepalsuan adalah suatu
keniscayaan di tengah kompetisi yang sangat tajam. Apa yang disebut benar dan
jujur adalah kosa kata sakti yang hanya memenuhi ruang teks, sementara dalam
realitas, sudah diperlukan aturan-aturan yang bersumber dari kesepakatan-kesepakatan
atau transaksi, yang justru menjadi konvensi istimewa yang diharuskan dijunjung
tinggi oleh setiap pemain.
Kebohongan publik yang dilakukan oleh pejabat Mahkamah Agung itu akan
berpengaruh lahirkan future shock atau kegelapan masa depan hukum, yang tidak
hanya dunia hukumnya yang kehilangan citranya, tetapi pencari keadilan pun
kehilangan landasan berpijak dan benteng yang bisa melindunginya. hal inilah
yang menuntut ditegakkannya supremasi moral, karena dengan supremasi moral ini,
penegak hukum akan menjalankan kinerjanya dengan benar.
Kalau pencari keadilan, khususnya yang berasal dari kalangan akar rumput
berposisi jadi korban atau dikalahkan oleh praktik mafia peradilan, apalagi hal
ini dilakukan di sebuah institusi berpengaruh dan menentukan seperti mahkamah
Agung, maka dikhawatirkan mereka akan menyatukan kebelutan tekad untuk meramu
peradilan jalanan atau peradilan tanpa pengadilan (justice without trial).
Kalau hal ini yang terjadi dan lestari ditengah masyarakat, maka niscaya
kondisi barbarian yang akan marak dimana- mana. Harapan masyarakat adalah agar
Mahkamah Agung Republik Indonesia mampu menjadi filter untuk menepis berbagai
kinerja buruk yang masih berlangsung di institusi penegak hukum lainnya, dan
bukan menjadi pelengkap superioritas mafia peradilan.
R.
Peran Komisi Perlindungan Anak Dalam Merekonstruksi Citra Peradilan
Anak bukanlah manusia dalam bentuk kecil, tetapi ia dipandang sebagai
manusia yang membutuhkan perlindungan dan penanganan khusus (special safeguard
and care), termasuk perlindungan hukum (legal protection), baik setelah maupun
sebelum dilahirkan. (berdasarkan konvensi hak-hak anak)
Komisi perlindungan anak (KPA) merupakan institusi yang secara yuridis diakui keberadaannya. Keberadaan ini terkait dengan peran yang dilakukan oleh KPA dalam memeberikan perlindungan terhadap anak-anak. KPA berkewajiban memberikan masukan kepada pemerintah atau pihak-pihak lain yang punya kompetensi dalam menangani anak-anak bermasalah, termasuk institusi peradilan yang secara langsung berhubungan proses penanganan anak-anak yang bermasalah secara hukum, atau KPA berhak mempertanyakan peran yang dilakukan institusi lain, yang dinilainya kurang atau tidak mendukung terhadap perlindungan anak-anak.
Komisi perlindungan anak (KPA) merupakan institusi yang secara yuridis diakui keberadaannya. Keberadaan ini terkait dengan peran yang dilakukan oleh KPA dalam memeberikan perlindungan terhadap anak-anak. KPA berkewajiban memberikan masukan kepada pemerintah atau pihak-pihak lain yang punya kompetensi dalam menangani anak-anak bermasalah, termasuk institusi peradilan yang secara langsung berhubungan proses penanganan anak-anak yang bermasalah secara hukum, atau KPA berhak mempertanyakan peran yang dilakukan institusi lain, yang dinilainya kurang atau tidak mendukung terhadap perlindungan anak-anak.
Dewasa ini, kekerasan terhadap anak semakin tidak asing lagi. Anak-anak
masih diperlakukan sebagai obyek kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa,
dan bahkan oleh aparat, padahal aparat ini seharusnya bertanggung jawab
terhadap perlindungan anak. Mereka menjadi bagian dari wajah buruknya upaya
penegakkan hak asasi manusia di Indonesia, tidak terkecuali terhadap hak-hak
anak. mayoritas kasus kekerasan terhadap anak terjadi di dalam rumah dan
dilakukan kerabat-kerabat terdekat anak. Data nasional menunjukkan, 23,1 persen
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah anak-anak. Sepanjang 2005, Komnas PA
menemukan 866 kasus kekerasan terhadap anak yang terbagi atas 327 kasus
perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176
kasus kekerasan psikis, dan 130 kasus penelantaran anak. yang menyedihkan, para
pelaku kekerasan terhadap anak itu mayoritas adalah orang yang dikenal anak,
yaitu 69 persen. berdasarkan berbagai kasus yang terjadi, layak jika kemudian
Komisi Perlindungan Anak (KPA), sebagai lembaga yang mendapatkan tanggung jawab
dari negara, dipertanyakan keberadaannya secara yuridis empiris.
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 menyebutkan, bahwa
anak adalah amanah sekaligus karunia TUHAN Yang Maha Esa, yang senantiasa harus
kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita
bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan
dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanakan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan
perlindungan terhadapap anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai
perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan
tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini (UU
Nomor 23 Tahun 2002) didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam
segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya
dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Badan atau institusi yang
ditunjuk dan dipercaya dalam memberikan perlindungan terhadap anak adalah
Komisi Perlindungan Anak. Komisi ini bertugas secara khusus dalam memerhatikan
berbagai hal yang berhubungan dengan hak-hak anak.