Selamat Datang di Blogger Ferdy Rizky Adilya, S.H., Dalam blogger ini mungkin terdapat tulisan yang memiliki hak cipta di dalamnya, Harap menuliskan sumbernya apabila akan mengutip dalam tulisan dibawah ini, Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.

Penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

--J.E. Sahetapy--

Kamis, 08 Mei 2014

Perbedaan lingkup pembahasan antara penologi dan penitentiary


Perbedaan lingkup pembahasan antara penologi dan penitentiary, yang dapat diketahui dari pengertian penitentiary sebagai berikut:
a.       The penitentiary is a prison, correctional institution, or other place of confinement where convicted felons are sent to serve out the term of their sentence.[1]
b.      The penitentiary is a prison, especially a state or federal prison for persons convicted of serious crimes.[2]
c.       The penitentiary is the word applied to an istitution design to restrain for a long period of time convieted felous, or those quilty of serious offenses. The word is derived form the root words for penitence and repentance, and it still denotes an ecclesiastical office concerned with the absolution of quilt, it is reputed to have been first, used in connection with penal treatment by the English Reformer, John Howard (726-1790).[3]
(Kata Penitensier adalah suatu kata yang dipakai suatu lembaga yang merencanakan  penahanan untuk periode yang lama bagi narapidana yang jahat. Kata penitensier diturunkan dari akar kata penyesalan dan tobat dan masih menunjukan suatu kantor gerejawi yang berhubungan dengan pengampunan kesalahan. Hal tersebut (penitensier) dianggap pertama kali berhubungan dengan pelaksanaan hukuman oleh pembaharu hukum di Inggris John Howard (726-1790) ).
d.      Penitentiary an istitution intended to isolated prisoners from society and form one another so that they could reflect on their past misdeeds, repent and thus undergo reformation[4].
(Penitensier adalah suatu lembaga yang dimaksudkan mengisolasi narapidana-narapidana dari masyarakat dan dari yang lain sehingga mereka dapat merefleksikan kesalahan di waktu lalu, menyesali dan kemudian menjalani pembinaan).
Dengan memperhatikan pengertian penitentiary yang dikutip dari keempat bahan bacaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dibahas di dalam penitensier adalah masalah penjara, sedangkan masalah mengapa seseorang itu dipidana, apa dasar seseorang dipidana dan berapa lama seharusnya dipidana, apa pengaruh pidana bagi pelaku atau korban atau masyarakat tidak disinggung. Dengan demikian, penggunaan mata kuliah Penologi lebih tepat dibandingkan Hukum Penitensier.


[1] Black’s Law Dictionary edisi ke enam, halaman 1134 dalam C.Djisman Samosir., Ibid., hlm.3.
[2] Webster’s New Twentieth Century Dictionary Unabridged edisi kedua halaman 1326., Ibid.
[3] Harry Elmer Barnes dan Negley K. Teeters., New Horizons In Criminology., Ibid.
[4] Tood R. Clear and George F. Cole., American Correction., Ibid.

Rabu, 07 Mei 2014

Sejarah Perkembangan Penjatuhan Hukuman


        Penjatuhan pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana, sebelum negara terbentuk mengalami proses yang cukup panjang. Penjatuhan pidana yang dimaksud terdiri dari tiga tahap yaitu[1]:
a.       Dengan cara membalas atau lex talionis atau biasa disebut asas pembalasan. Jika terjadi sesuatu tindak pidana, maka penyelesaiannya adalah dengan melakukan cara yang sama. Misalnya, jika si A menusuk si B, maka si B atau keluarga si B menusuk kembali si A. Cara penyelesaiannya yang demikian sering disebut dengan ungkapan oog om oog en tand om tand atau eye for eye and tooth for tooth atau life for life (mata dibayar mata, gigi dibayar gigi atau nyawa dibayar nyawa), atau hutang pati nyaur pati, hutang lara nyaur lara yang berarti: si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. Cara penyelesaian yang demikian selain sulit menyeimbangkan bentuk yang akan dilakukan juga kurang manusiawi dan bisa menimbulkan kekacauan di masyarakat sehingga pembalasan kemungkinan akan berlanjut. Seiring dengan perkembangan tingkat peradaban manusia, maka penyelesaian tindak pidana dengan cara membalas dengan apa yang dilakukan si pelaku tindak pidana pada mulanya dirasa kurang mendukung terciptanya masyarakat yang tertib. Oleh karena itu, cara tersebut diganti dengan cara lain, yaitu memberikan ganti rugi.
b.      Dengan cara memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarga korban. Jika terjadi sesuatu tindak pidana, penyelesaiannya tidak lagi dengan cara membalas, akan tetapi dengan memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarga korban dalam bentuk uang atau benda tertentu. Ganti rugi tersebut atas kesepakatan pihak pelaku dan korban atau keluarga korban. Penyelesaian suatu tindak pidana dengan memberikan ganti rugi cenderung menimbulkan masalah-masalah yang tidak diharapkan. Karena untuk menentukan ganti rugi tersebut bukan hal yang mudah, misalnya saja kalau yang dibunuh itu orang yang bisa diharapkan dimasa depan bagaimana menentukan ganti ruginya apakah sama dengan orang yang masa depannya tidak begitu cerah? Atau kalau tindak pidana itu menyangkut pencurian, dan barang yang dicuri itu adalah barang yang mempunyai nilai sejarah tertentu, bagaimana menentukan ganti ruginya? Cara pemberian ganti rugi kemudian tidak dipakai lagi karena negara sudah terbentuk dan melalui alat-alat kelengkapan negara seperti polisi, jaksa, dan hakim diberi kewenangan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana.
c.       Setelah negara terbentuk, hukum pidana telah tertulis dan aparat pemerintah, seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sudah terbentuk, maka penyelesaian suatu perkara pidana sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.  Polisi, jaksa dan hakim masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang diatur didalam hukum acara apabila menyelesaikan suatu perkara pidana. Sebagai contoh: di negara kita jika tejadi tindak pidana maka polisi melakukan penyelidikan kemudian dilanjutkan dengan penyidikan, kemudian diadakan Berita Acara Pemeriksaan pada tersangka dan apabila sudah lengkap maka berkas tersebut dan tersangka diserahkan kepada kejaksaan. Apabila pihak kejaksaan merasa berkas sudah lengkap, maka pihak kejaksaan memohon ke pengadilan negeri untuk diperiksa di persidangan. Kemudian Pengadilan Negeri akan menetapkan sidang pemeriksaan. Dalam rangka membela kepentingan tersangka atau terdakwa dari sisi hukum, maka mereka berhak didampingi advokat.


[1] Ibid., hlm.35-36.

Istilah dan Pengertian Penologi


Penologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu poena dan logos, poena memiliki arti pain atau (kesakitan) atau suffering (penderitaan) atau hukuman. Sedangkan kata logos memiliki arti ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukuman.[1] Encyclopedia Americana pernah mengatakan bahwa ilmu yang dikaji dalam penologi ini sudah dikenal sebagai bidang studi penting dan sudah menjadi masalah dalam masyarakat pada saat itu, tetapi tidak dikenal dengan nama penologi. Francais Lieber (1829-1832) lah yang dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah penology.[2] Menurutnya, penologi memiliki pengertian sebagai berikut: “Penology that part if the science of criminology which studies the principles of punishment and the management of prisons, reformatories, and other confinement units”.[3] (Penologi merupakan bidang studi dari kriminologi yang mempelajari prinsip-prinsip dari penghukuman dan manajemen penjara, reformatori (asrama) dan unit-unit pengekang lainnya).
E. H. Sutherland dan Donald R. Cressey menyatakan “Penologi yaitu mengenai pengawasan terhadap kejahatan”. Istilah penologi, menurut dia tidak memuaskan karena bagian ini meliputi berbagai metode atau cara pengawasan yang tidak mempunyai sifat pidana.[4] W.A Bonger menyebutkan penologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tumbuh dan berkembangnya hukuman (teori-teori hukuman).[5]
Sedangkan W.E. Noach, menyebutkan “Penologi sebagai ilmu pengetahuan tentang pidana sarana-sarananya, atau ilmu pengetahuan tentang cara perlakuan atau pemidanaan terhadap pelaku pidana dan sarana-sarana yang dipergunakannya”. Penologi sebagai suatu ilmu pengetahuan disebutkan pula oleh para sarjana di Indonesia diantaranya:
a.       Soedjono Dirdjosisworo dalam tulisannya yang berjudul Sejarah dan Azas-Azas Penologi ( Pemasyarakatan ) mendefinisikan Penologi sebagai “Ilmu tentang kepenjaraan dan perlakuan atau pembinaan narapidana”.
b.      Moelyatno mengatakan “Penologi sebagai ilmu pengetahuan tentang pidana dan pemidanaanya atau ilmu pengetahuan tentang memperlakukan dan memidana si pelaku pidana”. [6]
c.       Widiada Gunakaya SA mengatakan penologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari konsekuensi kejahatan, menganalisis bagaimana mengubah pelanggar hukum (penjahat) menjadi anggota masyarakat yang baik kembali, serta mau mentaati hukum yang berlaku. Dengan kata lain “penologi adalah ilmu pengetahuan mengenai pembinaan terhadap pelaku kejahatan (napi) di Lembaga Pemasyarakatan.” Oleh karena itu penologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari pembinaan terhadap narapidana atau mempelajari pemasyarakatan.[7]
Charles W. Thomas dalam bukunya Correction in America, problems of the past and the present  dengan terjemahan mengatakan: “Penologi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai bagian dari kriminologi yang dekat dengan studi mengenai pidana dan konsekuensinya. Penologi mencangkup pilihan mengenai ilustrasi yang penting dan nyata. Terkait dengan perkembangan pidana yaitu mengenai sejarahnya bagaimana kita berjalan dengan kesulitan tetapi merupakan tugas yang penting untuk membatasi keadaan-keadaan yang negara miliki untuk membuat hukum dan kemudian menjatuhkan pidana terhadap warganegara yang bersalah atas pelanggaran hukum terhadap yang ditentukan negara sebagai apa yang boleh dilakukan dan harus menghindari tindakan-tindakan yang bersifat pelanggaran atas hukum konstitusi berdasarkan rencana atau program-program yang bermaksud merubah perilaku penjahat dan disini para penologi menguraikan mengenai dukungan ke arah perkembangan seperti pendidikan psikologi, psikiater, pengobatan dan sosiologi dan penilaian secara ilmiah mengenai bagaimana reaksi kita terhadap pengaruh sikap, nilai, perilaku dan kesempatan hidup dari para penjahat”.[8]
Pada masa lalu, penologi masih berpijak pada kebijakan penyiksaan terhadap para pelaku kejahatan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan, tetapi dalam perkembangannya, kajian penologi diperluas hingga mencakup kebijakan-kebijkan yang tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga mengkaji tentang masa percobaan, pengobatan (medical treatment), dan pendidikan yang ditujukan untuk penyembuhan atau rehabilitasi.


[1] http://manshurzikri.wordpress.com., di akses pada tanggal 20 November 2013, pukul 14.40 WIB.
[2] Encyclopedia Americana, (New York: American Corporation, 1957, Vol.21) dalam http://manshurzikri.wordpress.com., Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Widiada Gunakaya SA., Diktat Kuliah Kriminologi., STHB., Bandung., 1994., hlm.78.
[7] Widiada Gunakaya SA., Diktat Kuliah ..., Op.Cit., hlm.17.
[8] C.Djisman Samosir, Op.Cit., hlm.2.