Selamat Datang di Blogger Ferdy Rizky Adilya, S.H., Dalam blogger ini mungkin terdapat tulisan yang memiliki hak cipta di dalamnya, Harap menuliskan sumbernya apabila akan mengutip dalam tulisan dibawah ini, Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.

Penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

--J.E. Sahetapy--

Kamis, 08 Mei 2014

Perbedaan lingkup pembahasan antara penologi dan penitentiary


Perbedaan lingkup pembahasan antara penologi dan penitentiary, yang dapat diketahui dari pengertian penitentiary sebagai berikut:
a.       The penitentiary is a prison, correctional institution, or other place of confinement where convicted felons are sent to serve out the term of their sentence.[1]
b.      The penitentiary is a prison, especially a state or federal prison for persons convicted of serious crimes.[2]
c.       The penitentiary is the word applied to an istitution design to restrain for a long period of time convieted felous, or those quilty of serious offenses. The word is derived form the root words for penitence and repentance, and it still denotes an ecclesiastical office concerned with the absolution of quilt, it is reputed to have been first, used in connection with penal treatment by the English Reformer, John Howard (726-1790).[3]
(Kata Penitensier adalah suatu kata yang dipakai suatu lembaga yang merencanakan  penahanan untuk periode yang lama bagi narapidana yang jahat. Kata penitensier diturunkan dari akar kata penyesalan dan tobat dan masih menunjukan suatu kantor gerejawi yang berhubungan dengan pengampunan kesalahan. Hal tersebut (penitensier) dianggap pertama kali berhubungan dengan pelaksanaan hukuman oleh pembaharu hukum di Inggris John Howard (726-1790) ).
d.      Penitentiary an istitution intended to isolated prisoners from society and form one another so that they could reflect on their past misdeeds, repent and thus undergo reformation[4].
(Penitensier adalah suatu lembaga yang dimaksudkan mengisolasi narapidana-narapidana dari masyarakat dan dari yang lain sehingga mereka dapat merefleksikan kesalahan di waktu lalu, menyesali dan kemudian menjalani pembinaan).
Dengan memperhatikan pengertian penitentiary yang dikutip dari keempat bahan bacaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dibahas di dalam penitensier adalah masalah penjara, sedangkan masalah mengapa seseorang itu dipidana, apa dasar seseorang dipidana dan berapa lama seharusnya dipidana, apa pengaruh pidana bagi pelaku atau korban atau masyarakat tidak disinggung. Dengan demikian, penggunaan mata kuliah Penologi lebih tepat dibandingkan Hukum Penitensier.


[1] Black’s Law Dictionary edisi ke enam, halaman 1134 dalam C.Djisman Samosir., Ibid., hlm.3.
[2] Webster’s New Twentieth Century Dictionary Unabridged edisi kedua halaman 1326., Ibid.
[3] Harry Elmer Barnes dan Negley K. Teeters., New Horizons In Criminology., Ibid.
[4] Tood R. Clear and George F. Cole., American Correction., Ibid.

Rabu, 07 Mei 2014

Sejarah Perkembangan Penjatuhan Hukuman


        Penjatuhan pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana, sebelum negara terbentuk mengalami proses yang cukup panjang. Penjatuhan pidana yang dimaksud terdiri dari tiga tahap yaitu[1]:
a.       Dengan cara membalas atau lex talionis atau biasa disebut asas pembalasan. Jika terjadi sesuatu tindak pidana, maka penyelesaiannya adalah dengan melakukan cara yang sama. Misalnya, jika si A menusuk si B, maka si B atau keluarga si B menusuk kembali si A. Cara penyelesaiannya yang demikian sering disebut dengan ungkapan oog om oog en tand om tand atau eye for eye and tooth for tooth atau life for life (mata dibayar mata, gigi dibayar gigi atau nyawa dibayar nyawa), atau hutang pati nyaur pati, hutang lara nyaur lara yang berarti: si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. Cara penyelesaian yang demikian selain sulit menyeimbangkan bentuk yang akan dilakukan juga kurang manusiawi dan bisa menimbulkan kekacauan di masyarakat sehingga pembalasan kemungkinan akan berlanjut. Seiring dengan perkembangan tingkat peradaban manusia, maka penyelesaian tindak pidana dengan cara membalas dengan apa yang dilakukan si pelaku tindak pidana pada mulanya dirasa kurang mendukung terciptanya masyarakat yang tertib. Oleh karena itu, cara tersebut diganti dengan cara lain, yaitu memberikan ganti rugi.
b.      Dengan cara memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarga korban. Jika terjadi sesuatu tindak pidana, penyelesaiannya tidak lagi dengan cara membalas, akan tetapi dengan memberikan ganti rugi kepada korban atau keluarga korban dalam bentuk uang atau benda tertentu. Ganti rugi tersebut atas kesepakatan pihak pelaku dan korban atau keluarga korban. Penyelesaian suatu tindak pidana dengan memberikan ganti rugi cenderung menimbulkan masalah-masalah yang tidak diharapkan. Karena untuk menentukan ganti rugi tersebut bukan hal yang mudah, misalnya saja kalau yang dibunuh itu orang yang bisa diharapkan dimasa depan bagaimana menentukan ganti ruginya apakah sama dengan orang yang masa depannya tidak begitu cerah? Atau kalau tindak pidana itu menyangkut pencurian, dan barang yang dicuri itu adalah barang yang mempunyai nilai sejarah tertentu, bagaimana menentukan ganti ruginya? Cara pemberian ganti rugi kemudian tidak dipakai lagi karena negara sudah terbentuk dan melalui alat-alat kelengkapan negara seperti polisi, jaksa, dan hakim diberi kewenangan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana.
c.       Setelah negara terbentuk, hukum pidana telah tertulis dan aparat pemerintah, seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sudah terbentuk, maka penyelesaian suatu perkara pidana sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.  Polisi, jaksa dan hakim masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang diatur didalam hukum acara apabila menyelesaikan suatu perkara pidana. Sebagai contoh: di negara kita jika tejadi tindak pidana maka polisi melakukan penyelidikan kemudian dilanjutkan dengan penyidikan, kemudian diadakan Berita Acara Pemeriksaan pada tersangka dan apabila sudah lengkap maka berkas tersebut dan tersangka diserahkan kepada kejaksaan. Apabila pihak kejaksaan merasa berkas sudah lengkap, maka pihak kejaksaan memohon ke pengadilan negeri untuk diperiksa di persidangan. Kemudian Pengadilan Negeri akan menetapkan sidang pemeriksaan. Dalam rangka membela kepentingan tersangka atau terdakwa dari sisi hukum, maka mereka berhak didampingi advokat.


[1] Ibid., hlm.35-36.

Istilah dan Pengertian Penologi


Penologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu poena dan logos, poena memiliki arti pain atau (kesakitan) atau suffering (penderitaan) atau hukuman. Sedangkan kata logos memiliki arti ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukuman.[1] Encyclopedia Americana pernah mengatakan bahwa ilmu yang dikaji dalam penologi ini sudah dikenal sebagai bidang studi penting dan sudah menjadi masalah dalam masyarakat pada saat itu, tetapi tidak dikenal dengan nama penologi. Francais Lieber (1829-1832) lah yang dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah penology.[2] Menurutnya, penologi memiliki pengertian sebagai berikut: “Penology that part if the science of criminology which studies the principles of punishment and the management of prisons, reformatories, and other confinement units”.[3] (Penologi merupakan bidang studi dari kriminologi yang mempelajari prinsip-prinsip dari penghukuman dan manajemen penjara, reformatori (asrama) dan unit-unit pengekang lainnya).
E. H. Sutherland dan Donald R. Cressey menyatakan “Penologi yaitu mengenai pengawasan terhadap kejahatan”. Istilah penologi, menurut dia tidak memuaskan karena bagian ini meliputi berbagai metode atau cara pengawasan yang tidak mempunyai sifat pidana.[4] W.A Bonger menyebutkan penologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tumbuh dan berkembangnya hukuman (teori-teori hukuman).[5]
Sedangkan W.E. Noach, menyebutkan “Penologi sebagai ilmu pengetahuan tentang pidana sarana-sarananya, atau ilmu pengetahuan tentang cara perlakuan atau pemidanaan terhadap pelaku pidana dan sarana-sarana yang dipergunakannya”. Penologi sebagai suatu ilmu pengetahuan disebutkan pula oleh para sarjana di Indonesia diantaranya:
a.       Soedjono Dirdjosisworo dalam tulisannya yang berjudul Sejarah dan Azas-Azas Penologi ( Pemasyarakatan ) mendefinisikan Penologi sebagai “Ilmu tentang kepenjaraan dan perlakuan atau pembinaan narapidana”.
b.      Moelyatno mengatakan “Penologi sebagai ilmu pengetahuan tentang pidana dan pemidanaanya atau ilmu pengetahuan tentang memperlakukan dan memidana si pelaku pidana”. [6]
c.       Widiada Gunakaya SA mengatakan penologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari konsekuensi kejahatan, menganalisis bagaimana mengubah pelanggar hukum (penjahat) menjadi anggota masyarakat yang baik kembali, serta mau mentaati hukum yang berlaku. Dengan kata lain “penologi adalah ilmu pengetahuan mengenai pembinaan terhadap pelaku kejahatan (napi) di Lembaga Pemasyarakatan.” Oleh karena itu penologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari pembinaan terhadap narapidana atau mempelajari pemasyarakatan.[7]
Charles W. Thomas dalam bukunya Correction in America, problems of the past and the present  dengan terjemahan mengatakan: “Penologi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai bagian dari kriminologi yang dekat dengan studi mengenai pidana dan konsekuensinya. Penologi mencangkup pilihan mengenai ilustrasi yang penting dan nyata. Terkait dengan perkembangan pidana yaitu mengenai sejarahnya bagaimana kita berjalan dengan kesulitan tetapi merupakan tugas yang penting untuk membatasi keadaan-keadaan yang negara miliki untuk membuat hukum dan kemudian menjatuhkan pidana terhadap warganegara yang bersalah atas pelanggaran hukum terhadap yang ditentukan negara sebagai apa yang boleh dilakukan dan harus menghindari tindakan-tindakan yang bersifat pelanggaran atas hukum konstitusi berdasarkan rencana atau program-program yang bermaksud merubah perilaku penjahat dan disini para penologi menguraikan mengenai dukungan ke arah perkembangan seperti pendidikan psikologi, psikiater, pengobatan dan sosiologi dan penilaian secara ilmiah mengenai bagaimana reaksi kita terhadap pengaruh sikap, nilai, perilaku dan kesempatan hidup dari para penjahat”.[8]
Pada masa lalu, penologi masih berpijak pada kebijakan penyiksaan terhadap para pelaku kejahatan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan, tetapi dalam perkembangannya, kajian penologi diperluas hingga mencakup kebijakan-kebijkan yang tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga mengkaji tentang masa percobaan, pengobatan (medical treatment), dan pendidikan yang ditujukan untuk penyembuhan atau rehabilitasi.


[1] http://manshurzikri.wordpress.com., di akses pada tanggal 20 November 2013, pukul 14.40 WIB.
[2] Encyclopedia Americana, (New York: American Corporation, 1957, Vol.21) dalam http://manshurzikri.wordpress.com., Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Widiada Gunakaya SA., Diktat Kuliah Kriminologi., STHB., Bandung., 1994., hlm.78.
[7] Widiada Gunakaya SA., Diktat Kuliah ..., Op.Cit., hlm.17.
[8] C.Djisman Samosir, Op.Cit., hlm.2.

Jumat, 25 April 2014

KESIMPULAN DAN SARAN SKRIPSI



PENGARUH PEMIDANAAN TERHADAP ETIOLOGI KRIMINAL DALAM PELAKSANAAN POLITIK KRIMINAL DI BIDANG KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF PENOLOGI

A.                Kesimpulan
Berdasarkan paparan dari pembahasan terhadap kedua permasalahan pokok di atas dapat diinfrensikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia ditinjau dari perspektif penologi secara deduktif adalah sebagai berikut:
a.       Hakim dalam pertimbangan hukumnya lebih menitikberatkan kepada penalaran yuridis normatif-dogmatis semata dan kurang melakukan penalaran dengan menggunakan “pisau analisis” penologi secara komprehensif.
b.      Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini belum merefleksikan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
c.       Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini belum merealisasikan keinginan masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai euforia dalam masyarakat.
2.      Pengaruh pemidanaan terhadap etiologi kriminal dalam pelaksanaan politik kriminal di bidang kejahatan korupsi di Indonesia ditinjau dari perspektif penologi secara induktif adalah sebagai berikut:
a.       Pemidanaan tidak “berpengaruh” secara signifikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dalam pelaksanaan politik kriminal.
b.      Pemidanaan ditujukan tidak efektif secara special deterrent dan special prevention terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan secara general deterrent dan general prevention terhadap masyarakat.
c.       Pemidanaan tidak “berpengaruh” terhadap pelaksanaan politik kriminal dalam rangka mencapai tujuan akhir atau tujuan utama perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
d.      Penerapan tujuan pemidanaan tidak sepenuhnya tercapai dalam:
1)      Retributif, pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia tidak sepenuhnya memperhitungkan “pengaruh” retributif sebagai tujuan pemidanaan diaplikasikan.
2)      Relatif, apa yang hendak dijadikan tujuan dalam pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia belum tercapai dan tidak “berpengaruh” signifikan terhadap tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3)      Restoratif, belum “berpengaruhnya” aspek restorasi secara signifikan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.





B.                Saran
Berdasarkan konklusi terhadap kedua permasalahan pokok di atas, dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:
1.      Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia ditinjau dari perspektif penologi adalah:
a.       Hakim dalam pertimbangan hukumnya tidak hanya menitikberatkan kepada penalaran yuridis normatif-dogmatis saja tetapi harus menggunakan penalaran “pisau analisis” penologi secara komprehensif.
b.      Pengadilan dalam penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara imperatif seharusnya mengacu kepada tujuan dibentuknya Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.
c.       Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi seyogianya dapat memenuhi euforia masyarakat sebagai amanah reformasi hukum.
2.      Pengaruh pemidanaan terhadap etiologi kriminal dalam pelaksanaan politik kriminal di bidang kejahatan korupsi di Indonesia ditinjau dari perspektif penologi adalah:
a.       Pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia seharusnya memperhitungkan “pengaruh” retributif, relatif dan restoratif sebagai tujuan pemidanaan.
b.      Pidana yang dijatuhkan harus mencerminkan efektifitas kepada terdakwa dan masyarakat dalam special deterrent atau special prevention dan general deterrent atau general prevention.
c.       Pemidanaan dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan politik kriminal di bidang anti korupsi.
d.      Pemidanaan perspektif penologi seyogianya dilaksanakan dalam:
1)      Pidana Mati (Teori Retributif)
2)      Pidana Penjara dan Pidana Denda (Teori Relatif)
3)      Pidana Tambahan berupa pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi atau gugatan perdata (Teori Restoratif).







Kamis, 27 Februari 2014

PENGARUH PEMIDANAAN TERHADAP ETIOLOGI KRIMINAL DALAM PELAKSANAAN POLITIK KRIMINAL DI BIDANG KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF PENOLOGI




Ferdy Rizky Adilya

ABSTRAK

            Tindak pidana korupsi merupakan penyakit masyarakat yang telah membebani negara berkembang termasuk Indonesia, sehingga mutlak harus diberantas dari negara Indonesia. Salah satu pemberantasannya dapat dilakukan dengan penerapan pidana terhadap pelakunya. Namun, pada kenyataanya pemidanaan dimaksud ditenggarai tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pelaksanaan politik kriminal di bidang anti korupsi, bahkan dapat dikualifikasikan sebagai faktor etiologi kriminal ditinjau dari perspektif penologi. Bersinergi dengan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan dan perlu dielaborasikan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia ditinjau dari perspektif penologi? 2. Bagaimanakah pengaruh pemidanaan terhadap etiologi kriminal dalam pelaksanaan politik kriminal dibidang kejahatan korupsi di Indonesia ditinjau dari perspektif penologi?
            Permasalahan yang diidentifikasikan di atas sekaligus menjadi objek penelitian, metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis, menggunakan pendekatan yuridis normatif, kebijakan kriminal dan penologi. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data yang dilakukan secara kualitatif.
            Hasil penelitian terhadap permasalahan pokok yang pertama adalah potret penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia ditinjau dari perspektif penologi saat ini masih tidak sesuai dengan “unsur kesalahan” dan “perbuatan” yang telah menimbulkan dampak kerugikan keuangan negara dan masyarakat, sehingga masih dirasakan ringan putusannya dalam euforia pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini. Penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini belum merefleksikan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini belum merealisasikan keinginan masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai euforia dalam masyarakat. Sedangkan hasil penelitian terhadap permasalahan pada identifikasi kedua adalah pemidanaan tidak “berpengaruh” secara signifikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dalam pelaksanaan politik kriminal, pemidanaan tidak efektif secara special deterrent atau special prevention terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan secara general deterrent atau general prevention terhadap masyarakat, pemidanaan tidak “berpengaruh” terhadap pelaksanaan politik kriminal dalam rangka mencapai tujuan akhir atau tujuan utama perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, penerapan tujuan pemidanaan tidak  memperhitungkan “pengaruh” retributif, relatif mengenai apa yang hendak dijadikan tujuan dalam pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum tercapai dan tidak “berpengaruh” signifikan terhadap tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi dan restoratif, belum “berpengaruhnya” aspek restorasi secara signifikan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Filsafat Hukum Prof.Dr.H.Dwija Priyatno.,SH.,M.H.Sp.N.





Hukum merupakan suatu Ilmu Pengetahuan Ilmiah yang diperoleh mengikuti metode dan sistem tertentu serta bersifat universal.
A.                Sumber Ilmu pengetahuan
1.      Pengetahuan Indera (Biasa) : pengetahuan yang diperoleh melalui indera manusia.
2.      Pengetahuan Ilmiah : pengetahuan tersebut diperoleh mengikuti metode dan sistem tertentu serta bersifat universal.
3.      Pengetahuan Filsafat : pengetahuan yang diperoleh melalui perenungan yang sedalam-dalamnya (kontemplasi) sampai kepada hakikatnya.
4.      Pengetahuan Agama : Pengetahuan bersumber dari keyakinan terhadap ajaran suatu Agama.
Oval: Melalui Indera, Eksperimen, Perenungan, dan Agama
16-Point Star: Manusia Berusaha Mendekati
KEBENARAN
Atas Pertanyaan-Pertanyaan yang diajukan
 








B.                 Pembidangan Filsafat
1.      Ontologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang keberadaan sesuatu, contoh metafisika.
2.      Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang asal, syarat, susunan, metode dan validasi pengetahuan, contoh logika, metodologi, filsafat ilmu.
3.      Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang hakikat nilai, kriteria dan kedudukan metafisis (keberadaan) suatu nilai, pada aksiologi terdapat cabang etika dan esetetika.
Pertanyaan-Pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh ilmu, menjadi lingkup pekerjaan filsafat. Ilmu-Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheran (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheran tentang seluruh kenyataan.
Filsafat sebagai ilmu, karena telah memenuhi syarat untuk sebuah ilmu (memiliki objek, metode, sistematika tertentu dan bersifat universal). Filsafat sebagai pandangan hidup manusia. Filsafat, dikenal dengan sebutan: Philosophy (Inggris), Philosophie (perancis, Belanda); Filosofie, wijsbegeerte (Belanda); Philosophia (Latin).
Kata Filsafat diambil dari bahasa Arab yaitu Falsafah. Secara Etimologis filsafat/falsafah berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philos atau filo yang artinya cinta (Dalam arti seluas-luasnya) dan sophia atau sofia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
C.                Filsafat Hukum
Filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, yaitu filsafat etika atau moral. Objek pembahasaannya adalah hakikat hukum, yaitu inti atau dasar sedalam-dalamnya dari hukum. Mempelajari/menyelidiki lebih lanjut hal-hal yang tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu hukum.
D.                 Manfaat Mata Kuliah Filsafat Hukum
Filsafat hukum sebagai mata kuliah wajib pada pendidikan hukum, karena antara ilmu hukum dan keahlian hukum dengan filsafat hukum terdapat keterjalinan batiniah, tidak dimaksudkan untuk mengusahakan agar semua sarjana atau ahli hukum menjadi filsuf atau filsuf hukum. Tujuan utamanya adalah memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis tata hukum dengan penafsirannya secara konstekstual, dan diharapkan akan menumbuhkan sikap kritis, sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum positif pada berbagai situasi kongkrit yang selalu berkembang.
Mata kuliah Filsafat hukum berfungsi untuk menempatkan hukum dalam tempat dan prespektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang lebih pantas untuk didiaminnya. Gunannya adalah untuk mengimbangi efek dari spesialisasi yang sempit. Pengajaran mata kuliah Filsafat hukum dapat dimanfaatkan secara praktis untuk menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan. (Mochtar Kusumaatmadja).
Filsafat hukum memperdalam dan memperluas pengetahuan tentang hukum, yang menjadi objek hukum positif. Karena itu filsafat hukum memiliki nilai yang tinggi bagi mereka yang mempelajari pengetahuan hukum. Filsafat hukum bagi ahli hukum adalah seperti ilmu kimia bagi pelukis, ilmu kimia mempelajari bagaimana dan dari unsur-unsur apa cat itu tersusun, filsafat hukum mempelajari bagaimana hakikat terdalam dari hukum, dan apa sifat-sifat internalnya. (Pelukis tidak dituntut untuk membuat cat tetapi hanya untuk menggunakan cat, sebaliknya para ahli hukum dituntut untuk membuat hukum (menyempurnakan, memperbaiki, mempertahankan mutunya jika keadaan berubah dan untuk menerapkannya).
Filsafat hukum menjawab pertanyaan-pertanyaan umum mengenai hukum, mengenai hakikat dan sifat-sifatnya. (L.Bender O.P). Menurut A.K. Sarkar (1979), Kegunaan mempelajari Filsafat Hukum :
1.      Filsafat hukum, merupakan objek studi yang menarik dan hanya dapat dicapai oleh mereka yang sungguh-sungguh ingin mempelajarinya. Spekulasi dan Teori memiliki daya tarik alami, apapun objeknya, Jika seseorang dapat berspekulasi tentang hakikat cahaya, mengapa tidak mengenai hakikat hukum ?
2.      Penelitian-penelitian di bidang filsafat hukum memiliki manfaat bagi disiplin-disiplin ilmu lainnya. Pemantulanya meliputi keseluruhan seperti kedokteran, hukum, politik dan pemikiran sosial.
3.      Filsafat hukum juga memiliki nilai praktis. Dibidang hukum, yaitu teori dapat membantu dalam praktek.
4.      Filsafat hukum memiliki nilai pendidikan. Penalaran-penalaran konsep-konsep hukum lebih mempertajam teknikyang dimiliki para ahli hukum itu sendiri.
5.      Filsafat hukum akan membawa para ahli hukum dari cara berfikir hukum secara formal ke realitas sosial. Ini berarti bahwa dalam menerapkan hukum perjanjian, misalnya para ahli hukum memerlukan pula pengetahuan-pengetahuan dibidang ekonomi, kriminologi, pidana, psikiatri, sosiologi dan sebagainya.
6.      Pada akhirnya, Filsafat hukum dapat membawa para ahli hukum untuk melihat jauh kedepan. Sudah barang tentu pula akan lebih menyadarkan para ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya. Mereka akan selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu dengan keperluan keperluan sosial yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
E.                  Permasalahan Filsafat Hukum
Permasalahan Filsafat hukum meliputi :
1.      Masalah-masalah Filsafat Hukum
a.       Masalah Tujuan Hukum
b.      Masalah mengapa orang mentaati hukum
c.       Masalah mengapa negara berhak menghukum
d.      Masalah hubungan hukum dengan kekuasaan
e.       Masalah pembinaan hukum
f.       Masalah hak milik
g.      Masalah kontrak.....dll
2.      Masalah Hakikat Hukum
Didukung oleh teori-teori :
a.      Teori Imperatif (Asal mula hukum)
b.      Teori indikatif (Kenyataan-kenyataan Sosial yang mendalam)
c.       Teori Optatif (tujuan hukum, keadilan)
3.      Masalah Konsepsi-Konsepsi tentang Hukum
Dikemukakan oleh para pendukung aliran-aliran dalam Filsafat Hukum yaitu :
a.       D.H.M. Meuwissen, B.Arief Sidharta, Filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau akal budi manusia. Masalah pokonya, sebagai filsafat, adalah masalah marginal berkenaan dengan hukum. Objek formalnya adalah hukum dipandang dari dua pertanyaan fundamental yang saling berkaitan (dwi tunggal pertanyaan inti) ;
1)      Apa yang menjadi landasan kekuatan mengikat dari hukum?
2)      Atas dasar (kriteria) apa hukum dapat dinilai keadilannya?
Dalam dwi tunggal pertanyaan itu terkandung masalah tujuan hukum, hubungan hukum dengan kekuasaan serta hubungan hukum dengan moral. Dengan demikian objek formal Filsafat Hukum adalah landasan dan batas-batas kaidah hukum.
b.      Menurut Dias (1976) ialah, faktor-faktor apakah yang menjadi dasar berlakuknya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari kelangsungan berlakunya suatu peraturan hukum, dan bagaimana daya berlakunya dan dapatkah hukum itu dikembangkan
c.       John Austin (1832) menggolongkan filsafat hukum sebagai :
1)      Expostiorial Jurisprudence, yaitu mengkaji hukum sebagaimana adanya (law as it is)
2)      Cencorial Jurisprudence, mengkaji hukum sebagaimana seharusnya (law as it right to be)
3)       
d.      Paton (1951) objek pembahasan Filsafat Hukum terdapat tiga golongan:
1)      Pure Science of Law, yang mengkonsentrasikan penyelidikannya pada teori-teori hukum yang bersifat abstrak, yaitu berusaha untuk menemukan elemen-elemen dari ilmu hukum murni berupa faktor-faktor yang diakui kebenarannya secara universal, terlepas dari prefensi pandangan yang etis dari sosiologis.
2)      Functional/Sociological jurisprudence yang menganggap pandangan pure science of law amat terbatas dikaitkan dengan kehadiran hukum, sesungguhnya berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial.
3)      Theological Jurisprudence yang menganggap lingkup penyelidikan filsafat hukum adalah hukum itu merupakan produk pemikiran manusia yang berkaitan erat dengan tujuannya.